Senin, 07 September 2009

mutiara dari timur itu telah pergi

Sebuah percakapan depan TU fisika di awal semester:
"Eh, eh, pak Hans ngajar kelas ganjil apa genap?"
"kayanya kelas genap deh!"
"Sial, NIM gw ganjil euy!"

Bincang-bincang di teras mushola fisika, tengah semester:
"eh, pa kabar lo? gimana fismat2-nya?"
"uh, buanyak pe-er nih!"
"lo ngambil kelas pak Hans ya? pelajarin aja tuh pe-ernya, soalnya ujian sering keluar dari situ!"

Akhir semester, depan TU fisika:
"Alhamdulillah, fismat2 gw dapet A euy, akhirnya lolos juga!"
"pantes aja dapet A, lha wong soal ujiannya persis banget ama soal pe-er!"
"iya ya, ga nyesel gw ikut kelas pak Hans!"

Sekelumit percakapan sehari-hari mahasiswa fisika ITB yang menggambarkan betapa Hans Jacobus Wospakrik, Ph.D sangat difavoritkan oleh para mahasiswanya. Walau saya belum berkesempatan mengambil mata kuliahnya, sampai sekarang saya tidak pernah mendengar adanya komentar-komentar miring mengenai beliau, khususnya dalam masalah akademik, melainkan sebaliknya.

Kawan-kawan 'seperjuangan' saya di fisika sering bercerita tentang cara mengajar pak Hans. Bahasa Indonesianya sangat baku dan sistematis, tulisan-tulisannya di papan tulis juga sangat jelas dan runtut sehingga mudah dibaca dan dipahami. Selain itu, beliau juga sangat akomodatif terhadap permasalahan akademik mahasiswa. Kawan saya cerita bagaimana pedulinya beliau ketika nilai fismat2nya yang seharusnya A malah tercantum E di transkrip nilai.

26 Desember lalu, beliau terpaksa menjalani perawatan di Rumah Sakit, karena diketahui mengidap leukimia. Ternyata penyakit yang diidapnya telah memasuki stadium lanjut. Akhirnya pada 11 Januari, Tuhan telah mentakdirkannya untuk meninggalkan kita semua.

Ya, dosen favorit mahasiswa itu, seorang pakar mathematical physics tersohor, sang mutiara dari timur, telah pergi meninggalkan kita semua. Mungkin, tak hanya kami para mahasiswa, segenap dosen, namun juga seluruh bangsa Indonesia patut merasa kehilangan akan salah satu "otak cemerlangnya".

Selamat jalan Pak Hans!

Fisikawan dari Papua yang Membuana
Kompas, 5 September 2003

INDONESIA berperadaban yang dicita-citakan masih dapat ditemukan pada Hans Jacobus Wospakrik. Tutur kata dan budi bahasa pria Papua ini sopan berbudaya. Jalannya tegap, setegak ia menjunjung tinggi rasio, kejujuran, dan keterbukaan dalam ilmu yang ia geluti dan kesehariannya, tetapi jauh dari kesan angkuh karena sorot matanya memancarkan kerendahan hati sekaligus ketetapan hati, katakanlah untuk hidup sebagai fisikawan sejati.

Berbicara dengan dosen Fisika Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengenai fisika teori dan matematika murni adalah perjumpaan dengan keheningan dan kebeningan. Perburuan fisikawan sejagat dari segala abad untuk menjawab apa sebetulnya partikel elementer hingga penjelajahan ke alam semesta dengan teori medan dan geometri diferensial ia tuturkan dalam bahasa linguistis dan bahasa matematis yang bening. Suaranya hening berkarisma hingga pendengarnya dapat mempertahankan konsentrasi berjam-jam.

Kenikmatan menyimaknya, atau membantahnya bila perlu, tak terbatas di bilik kerjanya di kampus Ganesa, tetapi juga di ruang kuliah dan kolokium. Tentu ini tak mengherankan sebab ia kuyup dengan gagasan dan alat analitis yang kuantum, relativistik, maupun yang topologis untuk membuka rahasia kosmos-dari mikro sampai makro-sejak lulus S-1 dari ITB tahun 1976. Dibutuhkan kualifikasi intelijen yang jauh di atas rata-rata untuk tiba di sini.

HANS tak hanya punya kapasitas itu, sebutlah dengan yudisium cum laude saat wisuda sarjananya. Ia giat mengirim karyanya dan dimuat di jurnal berwibawa: Physical Review D dan Journal of Mathematical Physics.

Jadi, dia tak hanya cakap membahas dan mengunyah teori dan pencapaian fisika yang digarap orang lain, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan fisika yang tentu dibahas dan dikunyah sejawatnya di berbagai kawasan dunia, di mana fisika mendapat tempat yang patut.

Kesempatan kerja sama dengan Gerardus ’t Hooft di Rijksuniversiteit Utrecht, Belanda (1980-1981), dilanjutkan dengan Martinus JG Veltman di University of Michigan, Ann Arbor, AS (1981-1982), menghasilkan Classical Equation of Motion of a Spinning Nonabelian Test Body in General Relativity atas nama Hans J Wospakrik sendiri di Physical Review D tahun 1982. Kita tahu Hooft dan Veltman mendapat Nobel Fisika (1999).

Yang terbaru adalah dua makalahnya tentang partikel model Skyrme yang dimuat di dua terbitan Journal of Mathematical Physics, (42) 2001 dan (43) 2002. Keduanya ia garap bersama promotornya, Prof Dr Wojtek Zakrzewski, selama studi PhD di Durham University, Inggris (1999-2002). Makalah dan pemuatannya di jurnal itu menjadi penting karena dua hal.

Pertama, model Skyrme adalah rute yang relatif baru untuk menjawab apa itu partikel setelah dua mazhab sebelumnya: partikel titik dan string. Jika partikel dianggap sebagai titik yang tak berdimensi dalam mazhab partikel titik, dan sebagai dawai berdimensi satu dalam mazhab string, maka model Skyrme yang nonlinier ini mengasumsikan partikel sebagai bola berdimensi tiga. Kini ketiga mazhab sedang bertarung, mana yang bakal berjaya menjawab tuntas apa yang harus dipunyai suatu partikel sehingga ia yang paling elementer dari segala yang renik.

Dibangun oleh Tom Skyrme dari Universitas Birmingham tahun 1959 selagi mengajar di Universitas Malaya, Kuala Lumpur, pamornya tertekan oleh popularitas partikel titik, makin tertekan sebab string sempat menjanjikan sebagai kandidat yang bakal berhasil. Model Skyrme naik daun setelah Edward Witten dari Princeton dan AP Balachandran dari Syracuse, dua otoritas berwibawa, ikut menggarapnya. Pusat penggarapan yang intensif saat ini: Durham University tempat Hans menyelesaikan PhD tahun lalu.

Kedua, posisi internasional Hans cukup sentral dalam model Skyrme. Dia membuka jalur lain, mencari besaran fisika yang kekal menggunakan soliton topologi dan menyelesaikan persamaan nonlinier dengan mengelak masuk ke dalam perturbasi. Dengan itu, fisikawan kelahiran Serui, Papua, 10 September 1951, ini menembus Journal of Mathematical Physics yang sangat bergengsi. Rekannya di ITB mengatakan Hans orang pertama Indonesia yang tulisannya masuk di situ.

Dalam surat elektroniknya menjawab kami, Zakrzewski memandang Hans sebagai mahasiswa yang sangat pandai, inventif, banyak gagasan, dan sangat kuat matematikanya. Ia selalu siap memulai hitungan panjang dan rumit, membagi pekerjaan itu jadi unit kecil yang manageable, kemudian menggarapnya sampai menemukan jawaban terakhir.

"Pekerjaannya dalam Skyrmion masuk kategori top class," tulis Zakrzewski. "At the same time he was a very charming person, friendly, and helpful-a great ambassador for his country."

DIKENAL lama sebagai fisikawan cemerlang, pada Hans timbul pertanyaan mengapa terlambat beroleh PhD. Barangkali ada soal birokrasi yang sulit dijelaskan hingga keberangkatannya tertunda. Namun, anak keempat dari 10 bersaudara pasangan Tom Wospakrik (yang guru) dan Lydia itu tak menyalahkan siapa pun. "Saya datang di Durham pada saat yang tepat ketika profesor saya memikirkan metode matematika mempelajari soliton berdimensi-N," katanya santun. "Kalau lebih awal, saya tidak kebagian. Datang terlambat, sudah diambil murid lain."

Dalam masa penantian untuk studi PhD, suami Regina Wospakrik-Sorentau dan ayah dari Willem (19) dan Marianette (17) itu tidak diam. Ia giat riset sendiri dan menghasilkan lima makalah, terbit di Physical Review D (1989), Modern Physics Letters A (1986 dan 1989), International Journal of Modern Physics (1991). Prestasi begini jarang dicapai fisikawan kita sekembali dari luar negeri.

Adalah Rebet Ratnadi, gurunya di SMA Negeri Manokwari, yang menggairahkannya belajar relativitas ketika memperkenalkan konsep garis lengkung (bukan garis lurus) sebagai penghubung terpendek dua titik. Sejak itu ia menetapkan pilihan pada Fisika dan melesat hingga mengenal dekat seluruh gagasan besar fisika partikel dan kosmologi.

Tak mengherankan kalau ia mencapai tahap "dapat melihat keindahan dalam fisika dan matematika". "Keindahan yang kita temukan dengan berkeringat itu mungkin sisa-sisa dari Taman Firdaus sebelum kita diusir Tuhan," katanya.

Khalayak dapat menikmati tuturannya yang terang mengenai relativitas umum melalui buku populer Berkenalan dengan Teori Kerelatifan Umum Einstein dan Biografi Albert Einstein (Penerbit ITB, 1987). Skripsi sarjananya yang dibimbing Dr Jorga Ibrahim tentang teori besar ini di sekitar bintang bermuatan listrik. Di situ potret Einstein tersemat.

Anda pengagum berat Einstein?

Sebentar ia diam. Ia buka tasnya: naskah buku populer Dari Atomos hingga Quark yang belum ia serahkan kepada penerbit mana pun, tentang partikel elementer dari atom masa Democritos hingga quark yang dikenal di abad ke-20. "Dengan menulis buku ini, kekaguman saya kepada para fisikawan merata," katanya. "Einstein salah satu."

Hans tengah menyelesaikan makalah untuk dikirim ke Journal of Mathematical Physics. Usaha mengisi jurnal kelak bakal terhambat oleh tugas rutin: mengajar. Kalau ada dana, ia bisa terus bekerja membiakkan gagasan dan metode membongkar rahasia alam. Akan tetapi, untuk apa dana? Bukankah pekerjaan fisika teori tidak memerlukan laboratorium atau bahan, cukup dengan berpikir?

"Dana itu membuat kita tenang bekerja," katanya. "Yang membuat kita tidak tenang adalah soal underpaid itu." (SALOMO SIMANUNGKALIT)

PAPUA,KEGAGALAN TRANSFORMASI STRUKTURAL DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

dan Irian Jaya Tengah. Jika kepentingan Jakarta terganggu di
Jayapura, Jakarta masih bisa memilih Manokwari atau Timika. Seperti halnya konsep
pembangunan terdahulu, kebijakan Jakarta ini pun "berseberangan" dengan arus bawah Papua
yang sudah dijalari otonomi khusus, maka terjadilah peristiwa Timika.
"Papua yang saya inginkan sebagai warga negara adalah Papua yang diperlakukan betul-betul
sebagai anak bangsa dalam arti punya hak yang sama dengan warga lain dan tidak dicurigai,"
ungkap Hans Jacobus Wospakrik, dosen Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung.
Gejolak itu terjadi karena Papua kurang diperlakukan sebagai anak bangsa. Seperti kejadian
terakhir, sepertinya dibuat agar berkelahi satu sama lain, antarorang Papua sendiri.
Menurut Hans, saat ini diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah pusat supaya masalah yang
sudah disepakati bersama dengan otonomi sebagai jalan akhir itu dicobakan dulu. Setelah itu,
baru dilihat yang berikutnya. Otonomi itu merupakan sesuatu yang akhir untuk menyelesaikan
konflik sebelumnya.
Semua pihak harus menempatkan kesepakatan itu menjadi yang tertinggi, di mana seluruh
rakyat Indonesia memberi perhatian yang tertinggi untuk memberi otonomi khusus kepada
warga di Papua. Masalahnya, sesuatu yang sangat tinggi itu tidak dijalankan.
"Kami merasa ada ketimpangan perlakuan terhadap warga Papua. Ada banyak kecurigaan
negatif terhadap kami, kecurigaan bahwa kami menuntut perbaikan-perbaikan untuk kami.
Setiap kali menuntut perbaikan itu, kami dituduh separatisme. Padahal yang kami tuntut adalah
hak memperoleh pekerjaan dan hak apa saja yang sama. Namun, bila tuntutan itu berbenturan
dengan penguasa lokal, biasanya cara yang dipakai untuk mematikan tuntutan perbaikan itu
adalah cap separatis. Karena itu, gampang sekali penguasa menutup tuntutan itu. Biasanya
kalau sudah begini, larinya ke militer dan tuduhan itu pun seperti benar," ujarnya.
Kalaupun harus dimekarkan, Hans berpendapat, pemekaran itu jangan seperti ikan yang
dibelah begitu saja. Sebab, banyak suku di sana dan itu memerlukan pembicaraan yang cukup
lama: bagaimana membelahnya. Intisarinya adalah pemahaman lebih dalam tentang sosial
kultural. Dan itu hanya tercapai kalau semua wakil duduk bersama bagaimana pemekaran itu
tidak merugikan satu sama lain. Pemahaman sosial kultural tentang Papua ini dinilai masih
kurang.

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE Jorga Ibrahim

Tanggal dimuat: 13 Agustus 2007

JorgaRelativitas umum adalah teori pertama yang mengangkat harkat kosmologi dari kubangan spekulasi selama ratusan bahkan ribuan tahun untuk menempati tataran ilmu pengetahuan terhitung mulai awal abad dua puluh. Ini ditandai dengan pekerjaan Einstein menambahkan sebuah suku di ruas kiri persamaan medan gravitasinya untuk membangun model Alam Semesta statik, tak lama setelah ia ber­hasil melahirkan relativitas umum pada 1915. Einstein menamai salah satu faktor pada suku tambahan itu (Ë) tetapan kosmologi.

Kurang lebih satu dasawarsa sesudah itu Edwin Hubble berhasil mengamati bahwa Alam Semesta mengembang, berekspansi. Itu berarti model Alam Semesta statik yang digagaskan Einstein gugur dalam ujian observasi. Namun, itu tak berarti tetapan kosmologinya serta-merta aus disikat zaman. Jauh di kemudian hari tetapan itu ditafsirkan sebagai energi dari suatu vakum.

Kosmologi sejak itu—tepatnya mulai awal abad XX—menjadi nomenklatur bagi disiplin ilmu pengetahuan atau studi mengenai asal-usul, evolusi, komposisi, dan struktur Alam Semesta. Kosmologi hari ini berkait kelindan di antara observasi dan teori, di antara pengamatan dan paradigma: pengukuran yang cermat terhadap laju ekspansi Alam Semesta, kehomogenan dan isotropi berskala besar dari distribusi galaksi-galaksi, keberadaan radiasi latar gelombang-mikro kosmik 3-K, sampai keberlimpahan unsur-unsur ringan yang menopang gam­baran dasar Alam Semesta versi Dentuman-Dahsyat-panas yang berekspansi.

Di wilayah paradigma, kosmologi berbaur lebur dengan matematika murni dan fisika teoretis fundamental sedemikian sehingga watas-watas satu sama lain sebegitu subtil dan amat sulit ditandai. Di Universitas Cambridge, Inggris tempat mahafisikawan Stephen Hawking menjadi guru besar, misalnya, ketiga sub-bidang dispilin ilmu ini diringkus ke dalam sebuah gugus.

Sama halnya dengan matematika murni tingkat tinggi dan fisika teoretis fundamental, kosmologi modern di aras ini menjadi bidang yang hanya orang-orang dengan inteligensi yang tinggi, imajinasi yang tanpa batas, refleksi yang menukik dalam, jiwa yang merdeka, dan keberanian “tinggal di tempat yang sepi” mampu bertungkus lumus. Mereka berkutat di dunia gagasan, mengejawantahkan gagasan-gagasan itu di dalam frasa-frasa matematika, bila perlu menciptakan perkakas-perkakas baru dalam matematika, setelah mempertimbang­kan syarat-syarat batas serta syarat-syarat cukup dan perlu untuk kemu­dian dihadapkan dengan “realitas” alam entah melalui eksperi­mentasi entah melalui observasi. Kegiatan yang disebut terakhir ini bukan lagi ladang mereka. Tepatlah bidal klasik ini kepada golongan ini: banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih.

Komunitas ketiga sub-bidang dalam jagat ilmu pengetahuan ini di tingkat dunia sekalipun amatlah terbatas. Tentu saja warga komunitas ini sebagian besar bekerja dan bermukim di negeri-negeri maju: Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Sedikit berserak di negeri-negeri sedang membangun yang pemerintahannya memberi perhatian spesial dalam ketiga sub-bidang disiplin ini, katakanlah India dan Pakistan. Di Indonesia mereka dapat dihitung dengan jari kedua tangan. Generasi pertamanya menyelesaikan pendidikan di tingkat doktor pada awal dasawarsa tujuh puluhan. Satu dari dua yang terdahulu dan terkemuka dari komunitas ini di Indonesia adalah Jorga Ibrahim.

Jorga mengawali pendidikan tingginya dalam studi astronomi di ITB pada pertengahan 1950an. Jorga termasuk generasi pertama astronom Indonesia. Sudah sejak dini ia menyadari astronomi tanpa matematika murni adalah observasi semata. Maka, ketika ada kesem­patan belajar tingkat master di University of Kentucky di Lexington, Amerika Serikat pada pertengahan enam puluhan, ia memilih matematika murni. Untuk studi lanjutnya di tingkat doktor ia melamar belajar di bawah matematikawan kenamaan Prancis tingkat dunia, André Lichnerowicz. Spesialiasi matematika murninya untuk menye­lesaikan Docteur d’Etat ès Sciences di Université Pierre et Marie Curie di Paris (Université Paris VI) adalah geometri diferensial.

Bahwa Jorga adalah sarjana Indonesia dengan inteligensi jauh di atas rata-rata dibuktikan dengan selesainya program doktor tertinggi di Prancis dalam geometri diferensial (spesialisasi matematika murni yang terkenal paling rumit dan sulit) hanya dalam tempo kurang empat tahun (1974). Ia berhasil membongkar ruang Kähler untuk meng­ajukan beberapa proposisi-proposisi matematika bagi tensor-tensor holomorf dalam disertasinya, Tenseurs holomorphes sur une variété kählérienne compacte. Menurut pengamatan kami, ada beberapa matematikawan Prancis yang merujuk pekerjaan Jorga Ibrahim ini dalam publikasi mereka di jurnal matematika internasional.

Kontribusinya bagi geometri diferensial tidak berhenti pada disertasi itu saja. Sejak tahun 1976 sampai 1984 ia dipilih menjadi peneliti di College de France. Inilah lembaga yang hanya anggota-anggota Aca­demie des Sciences Paris boleh masuk. Jorga pada periode ini telah menghasilkan proposisi-proposisi matematika antara lain untuk konjektur Calabi dan kelas Chern pertama serta deformasi Kahler berstruktur kompleks. Dua pekerjaannya dalam geometri diferensial diterbitkan: “Sur les zeros des vecteurs holomorphes des certaines varietes kählériennes”, C.R. Acad. Sc. Paris 272 (1972) dan “Fibres vectoriels, holomorphes, structures symplectiques ou unimodulaires complexes exactes”, C.R. Acad. Sc. Paris, 283 (1976).

Seperti halnya pekerjaan-pekerjaan para ilmuwan sedunia dalam matematika murni, pekerjaan Jorga Ibrahim ini tentu saja sangat sulit dikaitkan, katakanlah, dengan pembangunan yang menjadi kata kunci di masa Orde Baru. Bertanya apa terapan dan bagaimana sosok pekerjaan-pekerjaan Jorga dalam matematika murni, masyarakat awam pasti tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan Memaksakan diri melayani permintaan seperti ini adalah kesia-siaan belaka sebab jawaban akan menjadi distortif. Sebaliknya, komunitas terbatas dalam geometri diferensial sedunia akan mengerti di kelas mana pekerjaan Jorga Ibrahim ini diletakkan. Beruntunglah mereka yang mengikuti studi pasca­sarjana dan doktor di Jurusan Matematika ITB sebab mereka men­dapat kesempatan mengenal kuliah-kuliah geometri diferensial, topologi diferensial, dan homologi dari seorang otoritas bernama Jorga Ibrahim.

Di Jurusan Astronomi ITB keempuannya dalam geometri diferensial menemukan aktualitasnya dalam kuliah kosmologi modern yang dia rintis. Ia memperkenalkan geometri diferensial kepada mahasiswa-mahasiswa yang mengambil kuliah pilihan kosmologi untuk menelusuri strktur-struktur Alam Semesta. Dua mahasiswa berbakat yang brilian mendapat kesempatan dibimbing Jorga untuk tesis sarjana mereka dalam kosmologi adalah fisikawan Hans Jacobus Wospakarik dan astronom Karlina Supelli. Keduanya lulus sarjana dengan yudisium cum laude.

Hans kemudian melakukan riset lanjutan dalam fisika partikel di Universitas Utrecht, Belanda dan Universitas Michigan di AS di bawah bimbingan fisikawan Martin Veltman pada awal 1980an. Kita tahu Veltman bersama Gerard ‘tHooft mendapat Nobel Fisika 1999. Hans J. Wospakrik akhirnya mendapat doktor dalam fisika matematika di Universitas Durham, Inggris. Karlina kemudian mendapat doktor dalam filsafat di Universitas Indonesia. Sampai masa pensiunnya sebagai pegawai negeri sejak tahun 2001 dan berlanjut hingga hari ini di Astronomi ITB yang masih menyediakan ruang kepadanya untuk berkiprah sebagai ilmuwan, Jorga Ibrahim yang lahir di Pangkalpinang, Pulau Bangka, 10 Maret 1936 terus mengupa­yakan proposisi-proposisi matematika dalam topologi, kohomologi, dan deformasi aljabar untuk memperkenalkan bentuk-bentuk dan model-model Alam Semesta sebagai bahan konfirmasi bagi mereka yang berkutat dengan astronomi pengamatan. Jorga telah membuka jalan bagi studi astronomi teoretis yang kontemplatif di negeri ini setelah dua puluhan tahun lamanya, sampai pertengahan dasawarsa tujuh puluhan, terjebak hanya dalam satu jalur: astronomi pengamatan. Ia bertahan sebagai seorang ilmuwan sejati menjadi pengajar di lembaga pendidikan tinggi teknologi meski sampai masa pensiunnya ia tidak pernah diangkat sebagai guru besar. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang Sains diberikan kepada Jorga Ibrahim. •

Jorga Ibrahim lahir di Pangkalpinang, Pulau Bangka, 10 Maret 1936. Hingga Taman Kanak-Kanak tinggal di kota itu, Jorga yang berasal dari keluarga Jawa Barat berpendidikan Belanda pindah ke Pulau Jawa ketika Perang Dunia II berselirat. Menuntaskan pendidikan dasar di Yogyakarta, kemudian pendidikan menengah (SMP dan SMA) di Bandung.

Minatnya pada matematika bertumbuh saat belajar di SMA III Bagian B Bandung. Lulus dari sana pertengahan 1956, Jorga masuk Jurusan Matematika dan Astronomi FIPIA UI di Bandung (kemudian bersulih nama menjadi Jurusan Astronomi FMIPA ITB). Di bawah bimbingan Prof. The Pek Sin, Jorga mendalami astronomi teoretis dan menjadi sarjana pada 1963. Sejak itu Jorga mengajar di Jurusan Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB.

Ia meraih master of science dalam matematika murni pada University of Kentucky, Lexington, AS (1967). Tiga tahun kemudian Jorga dite­rima di Université Paris VI, masuk Jurusan Mathematiques Pures dan bertemu dengan matematikawan kelas dunia, Prof. André Lichne­rowicz. Subjek pilihannya tidak tanggung-tanggung: geometri dife­rensial, bidang matematika murni paling rumit dan sulit yang berperan penting menelusuri struktur alam semesta, yang merupakan pilar-pilar penting dalam kajian kosmologi modern. Baru dua tahun di sana Jorga sudah menghasilkan sebuah publikasi penting mengenai vektor-vektor holomorf, Sur les zeros des vecteurs holomorphes des certaines varietes Kähleriennes, yang diterbitkan C.R. Acad. Sc., Paris 272 (1972).

Karena bakat dan kecerdasannya, dalam tempo kurang dari empat tahun ia mendapat Docteur d’Etat ès Sciences, gelar tertinggi pada sistem pendidikan Prancis, bidang matematika murni dengan disertasi mengenai tensor-tensor holomorf: Tenseurs holomorphes sur une varieté Kählerienne di bawah bimbingan Prof. André Lichnerowicz.

Sejumlah karya penting dalam matematika murni ia hasilkan sebagai peneliti senior pada College de France, lembaga yang hanya boleh dimasuki anggota Academie des Sciences Paris, dalam kurun 1976-1979. Antara lain: Calabi’s conjecture and first Chern class, Kahlerian (generally complex structure) deformations, dan Fibres vectoriels, holomorphes, structures symplextiques ou unimodulaires complexes éxactes. Yang disebut terakhir diterbitkan dalam C.R. Acad. Sc., Paris 283 (1976).

Kembali ke ITB, selain tetap mengajar di Jurusan Astronomi, Jorga Ibrahim memberikan kuliah geometri diferensial, topologi, dan homologi pada program pascasarjana Jurusan Matematika. Sempat pula ia berjabatan adminitratif di ITB: anggota staf ahli rektor dan pembantu rektor bidang akademis (1975-1983).

Jorga terpilih sebagai ketua Tim Seleksi Departemen P dan K untuk menyaring mahasiswa dan sarjana Indonesia yang akan belajar di Prancis dalam program kerja sama dengan pemerintah Prancis (1979-1983). Pemerintah Prancis menilai program ini sangat berhasil. Jorga dianugerahi Medaille Oficier de l’Odre National du Mérite oleh Presiden François Mitterand pada 25 Desember 1985.

Ia pengajar tamu, sebagai associate professor, di Univesitas Kyoto dan RITP Universitas Hiroshima, keduanya di Jepang (1983-1984). Permintaan mendesak sebuah lembaga ia penuhi menjadi rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong (1996-2000).

Jorga Ibrahim memasuki masa pensiun sejak Maret 2001, tapi masih diminta sebagai konsultan khusus dalam Sidang Umum ke-26 Interna­tional Astronomical Union (IAU) yang diselenggarakan di Praha (2006). •

Menulis Novel Untuk Menghibur

Lima novel telah saya tulis: Louisiana Louisiana (2003), Rakkaustarina (2004), Fetussaga (2005)-ketiganya diterbitkan Grasindo, lalu Epigram (2006), dan Dong Mu (2007) keduanya diterbitkan GPU, ditambah satu buku non-fiksi Pengantar Desain Mebel (Kiblat, Bandung). Tulisan lain berupa artikel desain atau kebudayaan dimuat di koran. Artikel ini kompensasi saya karena merasa tidak bisa membuat cerpen. Di setiap acara ngobrol soal novel, selalu ada yang tanya bagaimana membuat novel. Jawaban standar saya, ya ketik saja, karena cara saya memang begitu. Ketik saja. Nanti juga jalan sendiri. Kelima novel itu dibuat dengan jurus sebisanya saja karena saya tidak tahu rumus atau teori menulis novel. Cita-cita saya memang ingin jadi penulis, tapi penulis cek J

Novel terbaru saya, Dong Mu terilhami oleh dua orang insinyur Indonesia yang bekerja di luar negeri: Kang Suhermanto Duliman, ahli nuklir yang bekerja di Badan Tenaga Atom Dunia (IAEA) dan kang Yaya Rukayadi, ahli bioteknologi di Seoul Korea Selatan. Keduanya selain narasumber bahan Dong Mu juga sekalian saya jadikan nama tokoh utamanya. Dimata saya mereka adalah wajah lain kita: orang-orang Indonesia yang memberi bukti bahwa bangsa kita–dengan pendidikan, perjuangan dan lingkungan yang baik- dapat mencapai kualitas tinggi, tidak kalah dengan bangsa lain. Kedua orang ini, dan pastinya masih banyak yang lain di dalam maupun di luar negeri, memberi saya harapan atas kualitas bangsa dan saya harus sebarkan semangat ini. Dengan latar itulah saya berani minta endorsment pada Menteri Negara Riset dan Teknologi, Pak Kusmayanto Kadiman.

Tentu agar menjadi novel harus ada cerita. Kebetulan sekali di dunia nyata, Korea Utara melakukan percobaan rudal yang dicurigai berhulu ledak nuklir dan menghebohkan media dan dunia (terutama negara tetangganya dan Barat). Saya ikuti terus perkembangan berita itu dari Kompas. ‘Riset’ kecil juga dilakukan: baca buku tentang nuklir karya dosen Fisika ITB, (alm) Pak Hans Wospakrik, Dari Atomos Hingga Quarks (KPG), keluyuran di internet soal dua Korea, nanya sarjana fisika yang saya kenal. Beruntung setahun sebelumnya saya dikirim buku tentang Seoul dan Korea Selatan oleh seorang staf lokal KBRI Seoul. Cerita tentang operasi militer, kebetulan saya suka cerita (buku dan film) perang, yang terbaru saya baca adalah Perang Eropa dan Perang Pasifik karya PK Ojong.

Sebagai seorang amatir dalam mengarang novel, apalagi genre thriller/detektif atau spionase –misalnya Dong Mu begitu- tentu saja saya tidak bisa membuat cerita dengan kompleksitas atau kerumitan cerita yang tinggi seperti novel luar. Dong Mu tentu berbeda dengan novel yang di negaranya berjibun cerita detektif dan spionase. Dalam novel itu saya merasa harus bercerita latar biografis tokoh-tokohnya karena yang paling ingin saya ceritakan adalah proses mereka jadi ‘orang’ yang semoga memberi semangat pada yang baca dan meskipun bekerja di luar negeri, bisa menunjukkan kecintaannya pada Tanah Air dengan keahlian masing-masing. Di Dong Mu, saya meledek Amerika yang selalu hero di Holywood dan presidennya kege-eran -merasa jadi presiden dunia- itu dengan membuat agen CIA jadi pecundang dan dibebaskan orang sipil Indonesia!



Jurus Menulis: Minat dan Latihan

Hanya bermodal senang baca sejak kecil, ditambah kehadiran komputer dan internet, keinginan untuk menghibur orang, lalu insomnia, membuat minat menulis yang lama pingsan, siuman kembali setelah menulis tesis (2001). Pada usia 35, lahir novel pertama saya Louisiana Lousiana dengan setting di negeri kelahiran HC Andersen, Denmark. Kebetulan tahun 1997, sempat keluyuran di negeri itu dan tetangganya. Pengalaman pernah di sana saya jadikan latar, tapi ceritanya, sih campuran antara kisah nyata dan rekaan. Tapi latar Finlandia dalam novel Rakkaustarina saya peroleh dari buku, e-mail teman yang kuliah di sana dan internet. Malah sepotong pengalaman teman saya itu saya adopsi ke Rakkaustarina.

Tahun 1980an akhir, ketika mulai tinggal di Bandung untuk kuliah, saya coba minat menulis itu dengan ngarang cerpen roman remaja –masih pakai mesin ketik- lalu dikirim ke majalah remaja. Sukses, tidak satupun pernah dimuat! Minat itu langsung pingsan karena kebetulan kuliah Seni Rupa di ITB tiga perempatnya menggambar. Ketika untuk pertama kalinya saya lulus kuliah (semester pertama 1994) minat menulis siuman dipicu menulis skripsi. Yang pertama saya lakukan adalah mengirim lamaran untuk jadi wartawan ke Majalah Tempo. Lucunya -atau sialnya- justeru di minggu itu Tempo dibredel rejim Orde Baru! Minat menulis kembali pingsan karena saya lalu bekerja di konsultan desain interior di Jakarta lalu Bandung yang 90% pekerjaannya menggambar. Minat menulis tumbuh lagi ketika saya ‘terdampar’ di kampus Itenas, karena diajak mengurus majalah kampus tigabulanan sebagai tukang nyari berita plus kontributor amatiran kalau masih ada halaman kosong. Majalah itu jadi media latihan saya menulis, ditambah e-mail dan milis. Lama kelamaan saya makin lancar menulis. Mungkin karena kurang kerjaan dan bakat tukang ngibul, kalau dekat komputer ide cerita sering antri.



Menggambar Dengan Kata

Latar belakang akademis Seni Rupa cap gajah duduk membuat saya senang menggambar dan melukis, spesialisasi saya, Desain Interior tentu tidak relevan untuk dijadikan dasar penulisan novel. Tapi itu menyumbang juga bagi cara saya menulis cerita yang -kata orang- cenderung rajin menjelaskan detail tertentu. Karena cerita lewat kalimat, saya harus menggambar dengan kata-kata. Tujuannya, semoga jalan cerita mudah dibayangkan pembaca.

Cara atau proses dalam seni dan desain juga dipakai untuk menulis novel yaitu membuat sketsa yang dalam bahasa lain disebut brainstorming: memindahkan semua gagasan yang ada di kepala (persisnya saya tidak tahu betul apa memang benar di kepala, di hidung, di ujung jari atau di tempat lain) ke dalam kalimat, lalu masing-masing di simpan di file komputer. Nanti di periksa kembali, ditambah, dikurangi, di copy paste dengan cerita di file lain, jadi bab sendiri atau paragraf. Pendeknya ya, merakit rangkaian cerita. Di beberapa novel, saya selipkan seni rupa, desain, arsitektur, sekedar berbagi ‘dunia keindahan’.

Dalam menentukan nama dan tokoh figuran, biasanya saya meminjam nama dan figur dari dunia nyata untuk pegangan karakter tokoh tersebut, kemudian ditambah seperlunya sesuai karakter di novel. Beruntung sehari-hari saya main di kampus. Beberapa tokoh di novel saya, terutama figuran adalah nama teman, mahasiswa saya, bahkan ada nama anak teman. Nama Sasti dalam Epigram dalam dunia nyata adalah mahasiswi saya, dipakai untuk nama tokoh dengan siapa Kris pernah menjalin cinta di Sevilla. Beberapa mahasiswa malah pesen nebeng nama beken di novel, meskipun kalau sudah terbit inginnya gratis. Hehe. Tokoh Nara di Epigram dalam dunia nyata baru berusia lima-enam tahun. Tokoh-tokoh di Louisiana Louisiana, kecuali tokoh utama, di dunia nyata, orangnya ada, dengan sedikit perubahan secukupnya.

Beberapa bagian dari cerita terutama yang menyangkut emosi tokoh atau pengalaman batin, saya pakai bahan baku dari pengalaman. Misalnya pengalaman ketika ditolak atau diputuskan perempuan yang saya taksir –ini sering terjadi dulu, dan diterima-yang ini jarang terjadi, dipakai untuk menggambarkan kondisi yang kurang lebih demikian.



Motivasi

Saya menulis novel itu hanya untuk menghibur saja, jadi dibuat ringan-ringan saja. Mungkin juga karena saya vertebrata yang mudah sekali tertawa -entah karena syaraf atau gila- dalam seluruh novel saya ada elemen humornya. Tapi di Dong Mu unsur humor minim sekali karena kelabakan merangkai cerita.

Novel Fetussaga dapat disebut intermezzo, karena berbeda sekali dengan dua novel terdahulu dan yang kemudian. Novel ini diilhami dari kondisi anak mertua yang sedang mengandung anak pertama. Ada sebersit pertanyaan iseng muncul. Selain seperti yang ditulis ahli kandungan dalam berbagai buku, apakah sang jabang bayi atau janin itu punya kegiatan lain?

Menulis cerita dengan tokoh seorang jabang bayi menyenangkan dan lucu, karena saya harus dapat menyelami kira-kira seperti apa pikiran ‘calon manusia’ yang tentu saja sulit dan tidak mungkin. Semangat calon bapak mendorong saya membaca buku-buku tentang jabang bayi di kandungan. Yang membantu novel itu rampung saya kira adalah selain jiwa anak-anak yang masih terus ada juga antusiasme karena akan jadi seorang ayah -fase hidup paling menakjubkan dalam hidup saya. Sebagian setting adalah cerita sejarah dan legenda kampung halaman saya di Priangan Timur, unsur budaya lokal yang setengah ceritanya berada dalam wilayah alam gaib, dunia bangsa siluman. Seperti di Rakkaustarina, ada setting pantai Pangandaran, tempat piknik favorit saya.

Novel Epigram berbahan dasar kisah nyata peristiwa demo 5 Agustus 1989 ketika mendagri ke kampus ITB yang didemo Fadjroel Rachman, Enin Supriyanto, Abdul Sobur, Jumhur Hidayat, dll. Selebihnya saya fokus pada cerita fiktif dua orang yang bisa kabur ke Eropa dan Amerika, Kris dan Nara dan bagaimana keduanya menjalani hidupnya dengan membawa trauma termasuk rasa bersalah di tengah prestasi gemilang mereka dan juga urusan cinta. Sebagian bahan Epigram saya dapatkan lewat cerita pelaku, ditambah biar rada seru. Salah satu setting novel itu, paviliun Indonesia di World Ekspo Sevilla 1992, bahannya dari kawan yang perannya diganti Sasti.

“Mang, kenapa sih kebanyakan novelnya bersetting di luar negeri?”

“Karena saya tidak bisa menulis novel dengan setting di luar angkasa. Haha…

Hans Jacobus Wospakrik

Siapa yang kenal dengan ilmuwan tersebut? Mungkin jika anda bukan mahasiswa ITB, anda tidak mengenalnya. Beliau adalah dosen, sekaligus peneliti sejati yang hidup sederhana dan berwibawa. Beliau sudah beberapa kali menulis di jurnal ilmu pengetahuan internasional, antara lain Physical Review, Journal of Mathematical Physics,International Journal of Modern Physics, dsb.
Buku yang telah disumbangkannya untuk anak bangsa telah dicetak dan siap untuk dibaca. Judulnya “Dari Atomos Hingga Quark”. Temanya bagus dan isinya pun menarik. Buku tersebut menjelaskan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, dari masa Yunani sampai sekarang. Bagaimana ilmu alam pertama muncul, elemen dasar pertama kali. Kemudian muncul teori mengenai tata surya, ilmu kimia, ilmu kelistrikan dan disusu ilmu kemagnetan, dst. Ternyata ilmu tersebut tidak muncul sendiri-sendiri. Semuanya muncul secara berkesinambungan, bergantung dari ilmu yang telah didapat sebelumnya. Secara teratur perlahan-lahan tabir terbuka dan peradaban manusia pun berkembang tak terbatas. Kita tidak tahu kapan pengetahuan ini berhenti. Tapi kita tidak boleh cuma berdiam diri dan menonton. Jadilah pengembang dan siapkan akalmu untuk menyambut ilmu baru yang akan datang.

Penghargaan pekerja kemanusiaan dan fisikawan terbaik dari Atmajaya

Jurnalnet.com Jurnalnet.com (Jakarta): Sri Palupi dan Hans Jacobus Wospakrik (alm) mendapat penghargaan masing-masing bagi pekerja kemanusiaan dan fisikawan terbaik dari Universitas Atma Jaya berkaitan dengan perayaan 45 tahun berdirinya universitas itu.

Penghargaan kepada Sri Palupi diberikan oleh Ketua Badan Pengurus Yayasan Atma Jaya R. Djokopranoto, sementara kepada Hans Jacobus Wospakrik (alm) oleh Rektor Unika Atma Jaya Bernadette N. Setiadi, dalam pesta syukur Lustrum IX universitas tersebut, di Jakarta, Rabu.

Sri Palupi usai menerima penghargaan itu mengaku selama menolong sesama tidak seindah yang dikatakan orang melainkan penuh perjuangan yang menyakitkan.

Dalam tragedi Mei 1998, ia mengorganisasikan investigasi, pendataan, analisis dan penulisan atas kasus tersebut bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK). Hasil dari kerja tersebut dirumuskan dalam beberapa laporan dan kemudian diserahkan kepada Komnas HAM atas nama TRK.

"Hasil investigasi itu melatarbelakangi dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) oleh pemerintah untuk mengungkap tragedi Mei 1998 itu," katanya.

Selain tragedi Mei 1998, ia juga melakukan analisis dan penulisan atas hasil investigasi terhadap kerusuhan Ambon disamping melakukan advokasi dan pendampingan terhadap keluarga korban yang dijalankan lewat mekanisme kerja tim relawan untuk kemanusiaan.

Ia melakukan riset-riset tentang Sistem Transit untuk pemulangan TKI di Terminal III Bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok.

Selain itu riset yang baru ia selesaikan dan dalam penyusunan laporan adalah mengenai perempuan buruh migran Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Singapura.

"Saya bukan pejalan kaki" katanya saat disebut sebagai "pejalan kaki" dalam acara penghargaan itu. Menurutnya pejalan kaki tidak tepat untuk sebutannya melainkan sebagai pengojek karena kendaraan itulah yang sering membawanya dalam perjalanannya. Teman-temannya menyebut ia sebagai pejalan kaki yang tidak tahu arah.

Sementara penghargaan bagi fisikawan terbaik diberikan kepada istri (alm) Hans Jacobus Wospakrik, Regina Wospakrik, atas dasar telah memberikan metode-metode matematika untuk memahami fenomena fisika dalam teori partikel elementer dan relativitas umum Einstein melalui publikasinya di jurnal-jurnal internasional seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A.

Selain karya-karyanya yang dipublikasikan oleh jurnal-jurnal internasional, juga dipublikasinkan dalam jurnal "on-line" yang bersifat internasional, jurnal on-line dalam negeri, dan dalam bentuk buku.

Pada acara Pesta Syukur Lustrum IX ini, penghargaan bagi penerjemah terbaik bidang novel tidak diberikan kepada siapapun.

Menurut Dewan Penimbang Penganugerahan Penghargaan, belum ada satu orang pun yang memenuhi kriteria sebagai penerjemah terbaik.(ant)

Belajar dari Fisikawan di Garis Kemiskinan


Memahami fisika itu tidak hanya di kepala, tapi sampai merasuk ke dalam jiwa” —Hans J. Wospakrik

Di pengujung Agustus 2003 media massa memperkenalkan seorang fisikawan Indonesia dengan reputasi mengagumkan: Hans Jacobus Wospakrik. Dia telah 20 kali menembus empat jurnal fisika tingkat dunia bagi publikasi hasil-hasil penelitian dalam Teori Relativitas Einstein, teori medan, dan fisika partikel.

Keempat jurnal itu adalah Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A. Di jurnal-jurnal inilah pekerjaan sebagian pemenang Nobel Fisika dimaklumkan. Keberhasilan ini menghendaki dua perjuangan yaitu mencapai mutu akademik yang tinggi dan memenuhi tuntutan finansial yang sungguh berat.

Sebagai fisikawan dengan reputasi internasional yang pada awal 1980-an pernah mengadakan riset bersama peraih hadiah Nobel Fisika 1999 Martinus J. G. Veltman di Utrecht (Belanda) dan di Ann Arbor, Michigan (AS), Hans tetaplah seorang dosen yang sederhana. Dia masih bersedia mengajar fisika dasar untuk mahasiswa tingkat satu, juga selalu menyediakan waktu membimbing mahasiswa, bahkan sampai larut malam, dengan risiko harus pulang berjalan kaki dari kampus Ganesha ITB ke rumahnya yang jauhnya enam kilometer.

Tak salah jika Terry Mart, pengajar dan staf riset di Departemen Fisika Universitas Indonesia, menggolongkan Hans sebagai peneliti militan yang hidup di garis kemiskinan.

Sedangkan L.T. Handoko, peneliti pada Puslitbang Fisika Terapan, LIPI, setelah melihat deretan publikasi Hans, menyebutkan penelitian semacam itu tak mungkin dihasilkan tanpa kesabaran dan ketekunan dalam tingkat paling ekstrem.

Sebagai fisikawan teori, modal utama riset-riset Hans adalah teks dan paradigma. Bukan laboratorium yang bernilai miliaran atau triliunan rupiah seperti akselerator partikel yang terdapat di Amerika Serikat, Jerman, dan perbatasan Swiss- Prancis itu. Hans mampu memperlihatkan bagaimana fisikawan dapat memahami fenomena ilmu fisika dengan sematamata mengandalkan perangkat lunak (matematika).

Sayang, dengan prestasi akademik yang luar biasa ini, pemerintah Indonesia tidak terpanggil memberi penghargaan yang pantas kepada fisikawan kelahiran Papua ini. Inilah yang membuat Profesor Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Jepang tak habis heran.

Ketika berkunjung di Bandung sekitar 17 tahun yang lalu, Sasaki mengatakan, “Kalau menggunakan kriteria di Jepang Hans mungkin satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang pantas mendapat gelar Profesor.”

Melalui buku Dari Atomos hingga Quark ini, kita bisa mengetahui karya Hans yang sangat mengagumkan. Fisika dan kimia yang oleh banyak orang ditangkap sebagai sesuatu yang sukar, di tangan Hans dapat dikemas dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan indah sehingga nikmat untuk dipahami, sekalipun oleh orang yang awam. Isi buku ini merupakan rangkuman berbagai buku rujukan dan artikel yang disajikan secara populer dengan menghindari uraian rinci teknis yang berkaitan dengan peranti ukur (instrumen) dan peranti nalarnya (matematika).

Menapaki rentetan kisah yang dijalin dari halaman yang satu ke halaman berikutnya secara kronologis dan mempesona, pembaca diajak mengagumi derap lintas waktu dan lintas batas negara para fisikawan dunia dalam kerjasama membangun lumbung pengetahuan untuk memecahkan teka-teki alam yang tiada habisnya.

Akhirnya, sosok Hans sebagai fisikawan di garis kemiskinan ini bisa dijadikan pelajaran bagi para ilmuwan agar tetap tangguh mempertahankan budaya akademik. Penelitian bukanlah kegiatan yang menjanjikan atau mendatangkan keuntungan ekonomik, melainkan upaya yang tiada mengenal lelah untuk mencapai kebenaran.

Dan, kata Daniel Coit Gilman, seorang pendidik, “kebenaran akan memerdekakan (veritas vos liberabit).”

# Mustain penggiat program diskusi dosen UIN Yogyakarta