Senin, 07 September 2009

PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE Jorga Ibrahim

Tanggal dimuat: 13 Agustus 2007

JorgaRelativitas umum adalah teori pertama yang mengangkat harkat kosmologi dari kubangan spekulasi selama ratusan bahkan ribuan tahun untuk menempati tataran ilmu pengetahuan terhitung mulai awal abad dua puluh. Ini ditandai dengan pekerjaan Einstein menambahkan sebuah suku di ruas kiri persamaan medan gravitasinya untuk membangun model Alam Semesta statik, tak lama setelah ia ber­hasil melahirkan relativitas umum pada 1915. Einstein menamai salah satu faktor pada suku tambahan itu (Ë) tetapan kosmologi.

Kurang lebih satu dasawarsa sesudah itu Edwin Hubble berhasil mengamati bahwa Alam Semesta mengembang, berekspansi. Itu berarti model Alam Semesta statik yang digagaskan Einstein gugur dalam ujian observasi. Namun, itu tak berarti tetapan kosmologinya serta-merta aus disikat zaman. Jauh di kemudian hari tetapan itu ditafsirkan sebagai energi dari suatu vakum.

Kosmologi sejak itu—tepatnya mulai awal abad XX—menjadi nomenklatur bagi disiplin ilmu pengetahuan atau studi mengenai asal-usul, evolusi, komposisi, dan struktur Alam Semesta. Kosmologi hari ini berkait kelindan di antara observasi dan teori, di antara pengamatan dan paradigma: pengukuran yang cermat terhadap laju ekspansi Alam Semesta, kehomogenan dan isotropi berskala besar dari distribusi galaksi-galaksi, keberadaan radiasi latar gelombang-mikro kosmik 3-K, sampai keberlimpahan unsur-unsur ringan yang menopang gam­baran dasar Alam Semesta versi Dentuman-Dahsyat-panas yang berekspansi.

Di wilayah paradigma, kosmologi berbaur lebur dengan matematika murni dan fisika teoretis fundamental sedemikian sehingga watas-watas satu sama lain sebegitu subtil dan amat sulit ditandai. Di Universitas Cambridge, Inggris tempat mahafisikawan Stephen Hawking menjadi guru besar, misalnya, ketiga sub-bidang dispilin ilmu ini diringkus ke dalam sebuah gugus.

Sama halnya dengan matematika murni tingkat tinggi dan fisika teoretis fundamental, kosmologi modern di aras ini menjadi bidang yang hanya orang-orang dengan inteligensi yang tinggi, imajinasi yang tanpa batas, refleksi yang menukik dalam, jiwa yang merdeka, dan keberanian “tinggal di tempat yang sepi” mampu bertungkus lumus. Mereka berkutat di dunia gagasan, mengejawantahkan gagasan-gagasan itu di dalam frasa-frasa matematika, bila perlu menciptakan perkakas-perkakas baru dalam matematika, setelah mempertimbang­kan syarat-syarat batas serta syarat-syarat cukup dan perlu untuk kemu­dian dihadapkan dengan “realitas” alam entah melalui eksperi­mentasi entah melalui observasi. Kegiatan yang disebut terakhir ini bukan lagi ladang mereka. Tepatlah bidal klasik ini kepada golongan ini: banyak yang terpanggil, sedikit yang terpilih.

Komunitas ketiga sub-bidang dalam jagat ilmu pengetahuan ini di tingkat dunia sekalipun amatlah terbatas. Tentu saja warga komunitas ini sebagian besar bekerja dan bermukim di negeri-negeri maju: Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Sedikit berserak di negeri-negeri sedang membangun yang pemerintahannya memberi perhatian spesial dalam ketiga sub-bidang disiplin ini, katakanlah India dan Pakistan. Di Indonesia mereka dapat dihitung dengan jari kedua tangan. Generasi pertamanya menyelesaikan pendidikan di tingkat doktor pada awal dasawarsa tujuh puluhan. Satu dari dua yang terdahulu dan terkemuka dari komunitas ini di Indonesia adalah Jorga Ibrahim.

Jorga mengawali pendidikan tingginya dalam studi astronomi di ITB pada pertengahan 1950an. Jorga termasuk generasi pertama astronom Indonesia. Sudah sejak dini ia menyadari astronomi tanpa matematika murni adalah observasi semata. Maka, ketika ada kesem­patan belajar tingkat master di University of Kentucky di Lexington, Amerika Serikat pada pertengahan enam puluhan, ia memilih matematika murni. Untuk studi lanjutnya di tingkat doktor ia melamar belajar di bawah matematikawan kenamaan Prancis tingkat dunia, André Lichnerowicz. Spesialiasi matematika murninya untuk menye­lesaikan Docteur d’Etat ès Sciences di Université Pierre et Marie Curie di Paris (Université Paris VI) adalah geometri diferensial.

Bahwa Jorga adalah sarjana Indonesia dengan inteligensi jauh di atas rata-rata dibuktikan dengan selesainya program doktor tertinggi di Prancis dalam geometri diferensial (spesialisasi matematika murni yang terkenal paling rumit dan sulit) hanya dalam tempo kurang empat tahun (1974). Ia berhasil membongkar ruang Kähler untuk meng­ajukan beberapa proposisi-proposisi matematika bagi tensor-tensor holomorf dalam disertasinya, Tenseurs holomorphes sur une variété kählérienne compacte. Menurut pengamatan kami, ada beberapa matematikawan Prancis yang merujuk pekerjaan Jorga Ibrahim ini dalam publikasi mereka di jurnal matematika internasional.

Kontribusinya bagi geometri diferensial tidak berhenti pada disertasi itu saja. Sejak tahun 1976 sampai 1984 ia dipilih menjadi peneliti di College de France. Inilah lembaga yang hanya anggota-anggota Aca­demie des Sciences Paris boleh masuk. Jorga pada periode ini telah menghasilkan proposisi-proposisi matematika antara lain untuk konjektur Calabi dan kelas Chern pertama serta deformasi Kahler berstruktur kompleks. Dua pekerjaannya dalam geometri diferensial diterbitkan: “Sur les zeros des vecteurs holomorphes des certaines varietes kählériennes”, C.R. Acad. Sc. Paris 272 (1972) dan “Fibres vectoriels, holomorphes, structures symplectiques ou unimodulaires complexes exactes”, C.R. Acad. Sc. Paris, 283 (1976).

Seperti halnya pekerjaan-pekerjaan para ilmuwan sedunia dalam matematika murni, pekerjaan Jorga Ibrahim ini tentu saja sangat sulit dikaitkan, katakanlah, dengan pembangunan yang menjadi kata kunci di masa Orde Baru. Bertanya apa terapan dan bagaimana sosok pekerjaan-pekerjaan Jorga dalam matematika murni, masyarakat awam pasti tidak akan mendapatkan jawaban memuaskan Memaksakan diri melayani permintaan seperti ini adalah kesia-siaan belaka sebab jawaban akan menjadi distortif. Sebaliknya, komunitas terbatas dalam geometri diferensial sedunia akan mengerti di kelas mana pekerjaan Jorga Ibrahim ini diletakkan. Beruntunglah mereka yang mengikuti studi pasca­sarjana dan doktor di Jurusan Matematika ITB sebab mereka men­dapat kesempatan mengenal kuliah-kuliah geometri diferensial, topologi diferensial, dan homologi dari seorang otoritas bernama Jorga Ibrahim.

Di Jurusan Astronomi ITB keempuannya dalam geometri diferensial menemukan aktualitasnya dalam kuliah kosmologi modern yang dia rintis. Ia memperkenalkan geometri diferensial kepada mahasiswa-mahasiswa yang mengambil kuliah pilihan kosmologi untuk menelusuri strktur-struktur Alam Semesta. Dua mahasiswa berbakat yang brilian mendapat kesempatan dibimbing Jorga untuk tesis sarjana mereka dalam kosmologi adalah fisikawan Hans Jacobus Wospakarik dan astronom Karlina Supelli. Keduanya lulus sarjana dengan yudisium cum laude.

Hans kemudian melakukan riset lanjutan dalam fisika partikel di Universitas Utrecht, Belanda dan Universitas Michigan di AS di bawah bimbingan fisikawan Martin Veltman pada awal 1980an. Kita tahu Veltman bersama Gerard ‘tHooft mendapat Nobel Fisika 1999. Hans J. Wospakrik akhirnya mendapat doktor dalam fisika matematika di Universitas Durham, Inggris. Karlina kemudian mendapat doktor dalam filsafat di Universitas Indonesia. Sampai masa pensiunnya sebagai pegawai negeri sejak tahun 2001 dan berlanjut hingga hari ini di Astronomi ITB yang masih menyediakan ruang kepadanya untuk berkiprah sebagai ilmuwan, Jorga Ibrahim yang lahir di Pangkalpinang, Pulau Bangka, 10 Maret 1936 terus mengupa­yakan proposisi-proposisi matematika dalam topologi, kohomologi, dan deformasi aljabar untuk memperkenalkan bentuk-bentuk dan model-model Alam Semesta sebagai bahan konfirmasi bagi mereka yang berkutat dengan astronomi pengamatan. Jorga telah membuka jalan bagi studi astronomi teoretis yang kontemplatif di negeri ini setelah dua puluhan tahun lamanya, sampai pertengahan dasawarsa tujuh puluhan, terjebak hanya dalam satu jalur: astronomi pengamatan. Ia bertahan sebagai seorang ilmuwan sejati menjadi pengajar di lembaga pendidikan tinggi teknologi meski sampai masa pensiunnya ia tidak pernah diangkat sebagai guru besar. Demikianlah Penghargaan Achmad Bakrie 2007 bidang Sains diberikan kepada Jorga Ibrahim. •

Jorga Ibrahim lahir di Pangkalpinang, Pulau Bangka, 10 Maret 1936. Hingga Taman Kanak-Kanak tinggal di kota itu, Jorga yang berasal dari keluarga Jawa Barat berpendidikan Belanda pindah ke Pulau Jawa ketika Perang Dunia II berselirat. Menuntaskan pendidikan dasar di Yogyakarta, kemudian pendidikan menengah (SMP dan SMA) di Bandung.

Minatnya pada matematika bertumbuh saat belajar di SMA III Bagian B Bandung. Lulus dari sana pertengahan 1956, Jorga masuk Jurusan Matematika dan Astronomi FIPIA UI di Bandung (kemudian bersulih nama menjadi Jurusan Astronomi FMIPA ITB). Di bawah bimbingan Prof. The Pek Sin, Jorga mendalami astronomi teoretis dan menjadi sarjana pada 1963. Sejak itu Jorga mengajar di Jurusan Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB.

Ia meraih master of science dalam matematika murni pada University of Kentucky, Lexington, AS (1967). Tiga tahun kemudian Jorga dite­rima di Université Paris VI, masuk Jurusan Mathematiques Pures dan bertemu dengan matematikawan kelas dunia, Prof. André Lichne­rowicz. Subjek pilihannya tidak tanggung-tanggung: geometri dife­rensial, bidang matematika murni paling rumit dan sulit yang berperan penting menelusuri struktur alam semesta, yang merupakan pilar-pilar penting dalam kajian kosmologi modern. Baru dua tahun di sana Jorga sudah menghasilkan sebuah publikasi penting mengenai vektor-vektor holomorf, Sur les zeros des vecteurs holomorphes des certaines varietes Kähleriennes, yang diterbitkan C.R. Acad. Sc., Paris 272 (1972).

Karena bakat dan kecerdasannya, dalam tempo kurang dari empat tahun ia mendapat Docteur d’Etat ès Sciences, gelar tertinggi pada sistem pendidikan Prancis, bidang matematika murni dengan disertasi mengenai tensor-tensor holomorf: Tenseurs holomorphes sur une varieté Kählerienne di bawah bimbingan Prof. André Lichnerowicz.

Sejumlah karya penting dalam matematika murni ia hasilkan sebagai peneliti senior pada College de France, lembaga yang hanya boleh dimasuki anggota Academie des Sciences Paris, dalam kurun 1976-1979. Antara lain: Calabi’s conjecture and first Chern class, Kahlerian (generally complex structure) deformations, dan Fibres vectoriels, holomorphes, structures symplextiques ou unimodulaires complexes éxactes. Yang disebut terakhir diterbitkan dalam C.R. Acad. Sc., Paris 283 (1976).

Kembali ke ITB, selain tetap mengajar di Jurusan Astronomi, Jorga Ibrahim memberikan kuliah geometri diferensial, topologi, dan homologi pada program pascasarjana Jurusan Matematika. Sempat pula ia berjabatan adminitratif di ITB: anggota staf ahli rektor dan pembantu rektor bidang akademis (1975-1983).

Jorga terpilih sebagai ketua Tim Seleksi Departemen P dan K untuk menyaring mahasiswa dan sarjana Indonesia yang akan belajar di Prancis dalam program kerja sama dengan pemerintah Prancis (1979-1983). Pemerintah Prancis menilai program ini sangat berhasil. Jorga dianugerahi Medaille Oficier de l’Odre National du Mérite oleh Presiden François Mitterand pada 25 Desember 1985.

Ia pengajar tamu, sebagai associate professor, di Univesitas Kyoto dan RITP Universitas Hiroshima, keduanya di Jepang (1983-1984). Permintaan mendesak sebuah lembaga ia penuhi menjadi rektor Institut Teknologi Indonesia (ITI) di Serpong (1996-2000).

Jorga Ibrahim memasuki masa pensiun sejak Maret 2001, tapi masih diminta sebagai konsultan khusus dalam Sidang Umum ke-26 Interna­tional Astronomical Union (IAU) yang diselenggarakan di Praha (2006). •

Tidak ada komentar:

Posting Komentar