Senin, 07 September 2009

Menulis Novel Untuk Menghibur

Lima novel telah saya tulis: Louisiana Louisiana (2003), Rakkaustarina (2004), Fetussaga (2005)-ketiganya diterbitkan Grasindo, lalu Epigram (2006), dan Dong Mu (2007) keduanya diterbitkan GPU, ditambah satu buku non-fiksi Pengantar Desain Mebel (Kiblat, Bandung). Tulisan lain berupa artikel desain atau kebudayaan dimuat di koran. Artikel ini kompensasi saya karena merasa tidak bisa membuat cerpen. Di setiap acara ngobrol soal novel, selalu ada yang tanya bagaimana membuat novel. Jawaban standar saya, ya ketik saja, karena cara saya memang begitu. Ketik saja. Nanti juga jalan sendiri. Kelima novel itu dibuat dengan jurus sebisanya saja karena saya tidak tahu rumus atau teori menulis novel. Cita-cita saya memang ingin jadi penulis, tapi penulis cek J

Novel terbaru saya, Dong Mu terilhami oleh dua orang insinyur Indonesia yang bekerja di luar negeri: Kang Suhermanto Duliman, ahli nuklir yang bekerja di Badan Tenaga Atom Dunia (IAEA) dan kang Yaya Rukayadi, ahli bioteknologi di Seoul Korea Selatan. Keduanya selain narasumber bahan Dong Mu juga sekalian saya jadikan nama tokoh utamanya. Dimata saya mereka adalah wajah lain kita: orang-orang Indonesia yang memberi bukti bahwa bangsa kita–dengan pendidikan, perjuangan dan lingkungan yang baik- dapat mencapai kualitas tinggi, tidak kalah dengan bangsa lain. Kedua orang ini, dan pastinya masih banyak yang lain di dalam maupun di luar negeri, memberi saya harapan atas kualitas bangsa dan saya harus sebarkan semangat ini. Dengan latar itulah saya berani minta endorsment pada Menteri Negara Riset dan Teknologi, Pak Kusmayanto Kadiman.

Tentu agar menjadi novel harus ada cerita. Kebetulan sekali di dunia nyata, Korea Utara melakukan percobaan rudal yang dicurigai berhulu ledak nuklir dan menghebohkan media dan dunia (terutama negara tetangganya dan Barat). Saya ikuti terus perkembangan berita itu dari Kompas. ‘Riset’ kecil juga dilakukan: baca buku tentang nuklir karya dosen Fisika ITB, (alm) Pak Hans Wospakrik, Dari Atomos Hingga Quarks (KPG), keluyuran di internet soal dua Korea, nanya sarjana fisika yang saya kenal. Beruntung setahun sebelumnya saya dikirim buku tentang Seoul dan Korea Selatan oleh seorang staf lokal KBRI Seoul. Cerita tentang operasi militer, kebetulan saya suka cerita (buku dan film) perang, yang terbaru saya baca adalah Perang Eropa dan Perang Pasifik karya PK Ojong.

Sebagai seorang amatir dalam mengarang novel, apalagi genre thriller/detektif atau spionase –misalnya Dong Mu begitu- tentu saja saya tidak bisa membuat cerita dengan kompleksitas atau kerumitan cerita yang tinggi seperti novel luar. Dong Mu tentu berbeda dengan novel yang di negaranya berjibun cerita detektif dan spionase. Dalam novel itu saya merasa harus bercerita latar biografis tokoh-tokohnya karena yang paling ingin saya ceritakan adalah proses mereka jadi ‘orang’ yang semoga memberi semangat pada yang baca dan meskipun bekerja di luar negeri, bisa menunjukkan kecintaannya pada Tanah Air dengan keahlian masing-masing. Di Dong Mu, saya meledek Amerika yang selalu hero di Holywood dan presidennya kege-eran -merasa jadi presiden dunia- itu dengan membuat agen CIA jadi pecundang dan dibebaskan orang sipil Indonesia!



Jurus Menulis: Minat dan Latihan

Hanya bermodal senang baca sejak kecil, ditambah kehadiran komputer dan internet, keinginan untuk menghibur orang, lalu insomnia, membuat minat menulis yang lama pingsan, siuman kembali setelah menulis tesis (2001). Pada usia 35, lahir novel pertama saya Louisiana Lousiana dengan setting di negeri kelahiran HC Andersen, Denmark. Kebetulan tahun 1997, sempat keluyuran di negeri itu dan tetangganya. Pengalaman pernah di sana saya jadikan latar, tapi ceritanya, sih campuran antara kisah nyata dan rekaan. Tapi latar Finlandia dalam novel Rakkaustarina saya peroleh dari buku, e-mail teman yang kuliah di sana dan internet. Malah sepotong pengalaman teman saya itu saya adopsi ke Rakkaustarina.

Tahun 1980an akhir, ketika mulai tinggal di Bandung untuk kuliah, saya coba minat menulis itu dengan ngarang cerpen roman remaja –masih pakai mesin ketik- lalu dikirim ke majalah remaja. Sukses, tidak satupun pernah dimuat! Minat itu langsung pingsan karena kebetulan kuliah Seni Rupa di ITB tiga perempatnya menggambar. Ketika untuk pertama kalinya saya lulus kuliah (semester pertama 1994) minat menulis siuman dipicu menulis skripsi. Yang pertama saya lakukan adalah mengirim lamaran untuk jadi wartawan ke Majalah Tempo. Lucunya -atau sialnya- justeru di minggu itu Tempo dibredel rejim Orde Baru! Minat menulis kembali pingsan karena saya lalu bekerja di konsultan desain interior di Jakarta lalu Bandung yang 90% pekerjaannya menggambar. Minat menulis tumbuh lagi ketika saya ‘terdampar’ di kampus Itenas, karena diajak mengurus majalah kampus tigabulanan sebagai tukang nyari berita plus kontributor amatiran kalau masih ada halaman kosong. Majalah itu jadi media latihan saya menulis, ditambah e-mail dan milis. Lama kelamaan saya makin lancar menulis. Mungkin karena kurang kerjaan dan bakat tukang ngibul, kalau dekat komputer ide cerita sering antri.



Menggambar Dengan Kata

Latar belakang akademis Seni Rupa cap gajah duduk membuat saya senang menggambar dan melukis, spesialisasi saya, Desain Interior tentu tidak relevan untuk dijadikan dasar penulisan novel. Tapi itu menyumbang juga bagi cara saya menulis cerita yang -kata orang- cenderung rajin menjelaskan detail tertentu. Karena cerita lewat kalimat, saya harus menggambar dengan kata-kata. Tujuannya, semoga jalan cerita mudah dibayangkan pembaca.

Cara atau proses dalam seni dan desain juga dipakai untuk menulis novel yaitu membuat sketsa yang dalam bahasa lain disebut brainstorming: memindahkan semua gagasan yang ada di kepala (persisnya saya tidak tahu betul apa memang benar di kepala, di hidung, di ujung jari atau di tempat lain) ke dalam kalimat, lalu masing-masing di simpan di file komputer. Nanti di periksa kembali, ditambah, dikurangi, di copy paste dengan cerita di file lain, jadi bab sendiri atau paragraf. Pendeknya ya, merakit rangkaian cerita. Di beberapa novel, saya selipkan seni rupa, desain, arsitektur, sekedar berbagi ‘dunia keindahan’.

Dalam menentukan nama dan tokoh figuran, biasanya saya meminjam nama dan figur dari dunia nyata untuk pegangan karakter tokoh tersebut, kemudian ditambah seperlunya sesuai karakter di novel. Beruntung sehari-hari saya main di kampus. Beberapa tokoh di novel saya, terutama figuran adalah nama teman, mahasiswa saya, bahkan ada nama anak teman. Nama Sasti dalam Epigram dalam dunia nyata adalah mahasiswi saya, dipakai untuk nama tokoh dengan siapa Kris pernah menjalin cinta di Sevilla. Beberapa mahasiswa malah pesen nebeng nama beken di novel, meskipun kalau sudah terbit inginnya gratis. Hehe. Tokoh Nara di Epigram dalam dunia nyata baru berusia lima-enam tahun. Tokoh-tokoh di Louisiana Louisiana, kecuali tokoh utama, di dunia nyata, orangnya ada, dengan sedikit perubahan secukupnya.

Beberapa bagian dari cerita terutama yang menyangkut emosi tokoh atau pengalaman batin, saya pakai bahan baku dari pengalaman. Misalnya pengalaman ketika ditolak atau diputuskan perempuan yang saya taksir –ini sering terjadi dulu, dan diterima-yang ini jarang terjadi, dipakai untuk menggambarkan kondisi yang kurang lebih demikian.



Motivasi

Saya menulis novel itu hanya untuk menghibur saja, jadi dibuat ringan-ringan saja. Mungkin juga karena saya vertebrata yang mudah sekali tertawa -entah karena syaraf atau gila- dalam seluruh novel saya ada elemen humornya. Tapi di Dong Mu unsur humor minim sekali karena kelabakan merangkai cerita.

Novel Fetussaga dapat disebut intermezzo, karena berbeda sekali dengan dua novel terdahulu dan yang kemudian. Novel ini diilhami dari kondisi anak mertua yang sedang mengandung anak pertama. Ada sebersit pertanyaan iseng muncul. Selain seperti yang ditulis ahli kandungan dalam berbagai buku, apakah sang jabang bayi atau janin itu punya kegiatan lain?

Menulis cerita dengan tokoh seorang jabang bayi menyenangkan dan lucu, karena saya harus dapat menyelami kira-kira seperti apa pikiran ‘calon manusia’ yang tentu saja sulit dan tidak mungkin. Semangat calon bapak mendorong saya membaca buku-buku tentang jabang bayi di kandungan. Yang membantu novel itu rampung saya kira adalah selain jiwa anak-anak yang masih terus ada juga antusiasme karena akan jadi seorang ayah -fase hidup paling menakjubkan dalam hidup saya. Sebagian setting adalah cerita sejarah dan legenda kampung halaman saya di Priangan Timur, unsur budaya lokal yang setengah ceritanya berada dalam wilayah alam gaib, dunia bangsa siluman. Seperti di Rakkaustarina, ada setting pantai Pangandaran, tempat piknik favorit saya.

Novel Epigram berbahan dasar kisah nyata peristiwa demo 5 Agustus 1989 ketika mendagri ke kampus ITB yang didemo Fadjroel Rachman, Enin Supriyanto, Abdul Sobur, Jumhur Hidayat, dll. Selebihnya saya fokus pada cerita fiktif dua orang yang bisa kabur ke Eropa dan Amerika, Kris dan Nara dan bagaimana keduanya menjalani hidupnya dengan membawa trauma termasuk rasa bersalah di tengah prestasi gemilang mereka dan juga urusan cinta. Sebagian bahan Epigram saya dapatkan lewat cerita pelaku, ditambah biar rada seru. Salah satu setting novel itu, paviliun Indonesia di World Ekspo Sevilla 1992, bahannya dari kawan yang perannya diganti Sasti.

“Mang, kenapa sih kebanyakan novelnya bersetting di luar negeri?”

“Karena saya tidak bisa menulis novel dengan setting di luar angkasa. Haha…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar