Senin, 07 September 2009

Hari Ini Atma Jaya Anugerahkan Fisikawan Terbaik buat Hans J Wospakrik

UNTUK merayakan hari lahirnya yang ke-45 atau Lustrum IX pada hari ini, 1 Juni 2005, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, menganugerahkan tiga jenis penghargaan dan mendeklarasikan kelahiran Penerbit Unika Atma Jaya. Ketiga jenis penghargaan itu adalah Fisikawan Terbaik, Penerjemah Terbaik Bidang Novel, serta Tokoh Pembela Kemanusiaan dan Keadilan.

DUA hal dari kegiatan penting ini menyangkut satu nama: almarhum Hans Jacobus Wospakrik. Yang pertama adalah anugerah Fisikawan Terbaik. Yang kedua, peluncuran buku ilmiah populer, Dari Atomos Hingga Quark, yang menandai kelahiran Penerbit Unika Atma Jaya. Opus posthumous Hans ini diterbitkan bersama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Dewan Penimbang, yang antara lain, terdiri dari Dr Jorga Ibrahim (Departemen Astronomi ITB), Dr Terry Mart (Jurusan Fisika, Fakultas MIPA UI), dan Dr LT Handoko (LIPI) dalam keputusannya menyebut Hans yang semasa hidupnya mengajar di Departemen Fisika ITB dianugerahi sebagai Fisikawan Terbaik "atas pengabdian, konsistensi, dan dedikasinya yang tinggi dalam penelitian di bidang fisika teori yang memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika untuk memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein melalui publikasinya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A".

Tentu saja komunitas fisika mengerti bahwa Physical Review D dan Journal of Mathematical Physics adalah media terkemuka tempat sebagian riset fisikawan pemenang Nobel dipublikasikan. Yang menarik, yang justru mengapresiasi karya-karya penelitian berskala internasional dari seorang Hans (1951-2005) adalah sebuah perguruan tinggi di mana Hans tidak pernah terlibat dalam kegiatan penelitian maupun mengajar, bukan pemerintah atau Departemen Pendidikan Nasional yang struktural langsung membawahkan ITB tempat Hans sebagai pengajar dan peneliti.

Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat internasional, tak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala!

Barangkali ada yang salah dengan sistem merit versi pemerintah. Dr Jorga Ibrahim ketika memberikan alasan betapa Hans layak mendapat anugerah ini, mengutip fisikawan teori Prof Dr Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Kyoto, Jepang, bahwa bila menggunakan syarat-syarat di Jepang, Hans adalah satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang berhak mendapat gelar profesor.

Komentar Sasaki ini, menurut Jorga, disampaikan ketika berkunjung di ITB 17 tahun lalu. Setelah mengetahui publikasi Hans yang menembus Physical Review D-padahal waktu itu Hans masih dengan gelar sarjana, belum PhD-Sasaki geleng-geleng kepala mengetahui Hans hanya dihargai pemerintah dengan golongan pangkat yang tidak memadai.

Pihak Atma Jaya sendiri, menurut salah seorang pengurus yayasannya, tertarik memberi penghargaan setelah membaca berita meninggal Hans di koran. Di sana disebutkan reputasi fisikawan yang putra Papua ini berkali-kali berhasil menembus jurnal fisika internasional terkemuka. Untuk memperkuat laporan surat kabar itu, pihak Atma Jaya mengundang beberapa fisikawan sebagai Dewan Penimbang.

Dengan penghargaan Fisikawan Terbaik ini, Atma Jaya memotivasi dosen-dosennya supaya giat dalam penelitian hingga hasil riset mereka dapat diterbitkan jurnal bidang masing- masing yang reputasinya mendunia, internasional. Momentumnya, ya, lustrum kesembilan inilah.

FISIKAWAN Terbaik. Saya pikir predikat ini tidak melulu untuk prestasi Hans sebagai akademikus, tapi juga sebagai seorang manusia dalam interaksinya dengan sesama. Inilah yang ingin saya bagi kali ini. Tentang keilmuwanan seorang Hans, saya tidak akan mengulangi apa yang terungkap secara panjang lebar dalam Pengantar Editor bukunya, Dari Atomos Hingga Quark, yang diluncurkan hari ini juga.

Santun, ramah, dan penolong. Saya pikir inilah kesan yang dibawa setiap orang yang pernah berjumpa dengan Hans. Sikap ini tidak hanya diperlihatkannya horisontal secara alami kepada rekan-rekannya sesama pengajar, tetapi juga vertikal secara alami kepada mahasiswa-mahasiswanya. Sebagian besar kawan-kawannya dan mahasiswanya yang saya jumpai mengatakan belum pernah melihat Hans marah. Paling-paling dia diam kalau ada yang tidak berkenan di hatinya. Diam itu pun biasanya segera cair.

Dalam pengenalan saya sejak dua puluh tahun yang lalu, citra santun, ramah, dan penolong itulah yang terekam dan selalu terkenang. Itu barangkali sebabnya, ketika menulis profilnya di harian ini dua tahun lalu, kesan itu terbawa-bawa.

Sebagai wartawan, tentu ada perasaan bersalah kalau kami hanya memperlihatkan kebaikan-kebaikan seseorang dalam suatu penulisan profil. Seolah-olah setiap orang adalah malaikat. Ada nasihat baik tentang penulisan profil yang pernah saya dengar dari seorang wartawan senior.

Katanya, "Kalau seseorang itu Anda anggap layak jadi panutan, tulislah 80 persen mengenai kebaikan-kebaikannya, tapi sisakan 20 persen untuk memperlihatkan bahwa orang itu manusia juga, ada sisi-sisi buruknya."

Maka, ketika Karlina Supelli mengirimkan SMS bahwa ia sangat terkesan dengan profil Hans yang terbit 5 September 2003 di harian ini, saya langsung menjawab, "Apakah saya tidak berlebihan?" Karlina menjawab, "Tidak, itu juga Hans yang saya kenal."

Karlina adalah adik kelas Hans di ITB. Karlina di Departemen Astronomi, Hans di Departemen Fisika. Keduanya mendalami kosmologi. Keduanya menulis skripsi dengan pembimbing yang sama: Dr Jorga Ibrahim. Keduanya lulus cum laude. Hans pada tahun 1976, Karlina pada tahun 1981.

Beberapa hari setelah jenazah Hans dimakamkan di Jayapura, saya berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Istrinya, Regina Wospakrik-Sorentau, bercerita bahwa profil itu pun sempat menggelisahkan Hans. Ia membaca berulang-ulang.

Kata Hans seperti dikutip istrinya, "Ma, apakah tulisan ini tidak akan mengganggu teman-teman? Saya dilukiskan seperti bintang." Istrinya menjawab, "Tidak. Saya kira Pak Salomo menulis apa adanya. Papa sendiri bagaimana melihatnya, apa ada yang salah ditulis di sana?" Respons Hans, "Tidak ada yang salah, tapi bisa disalahartikan."

Dalam kunjungan di Bandung itu saya mendapat banyak cerita tentang Hans dan keluarga, Hans dan mahasiswa, yang dituturkan orang yang paling dekatnya dalam 24 tahun terakhir. Ketika studi di Universitas Durham, Inggris, untuk mendapatkan PhD (1999-2002), Hans membawa istri dan kedua anaknya. Beasiswa pas-pasan. Istri dan anak-anak harus bekerja.

Sebagai seorang bidan, Regina mendaftar bekerja di rumah sakit. Willem dan Marianette, kedua anaknya yang waktu itu masih SMP dan SMA, kalau ada waktu luang mencari kerja sambilan. Lumayan juga penghasilan mereka. Bisa menabung. Uang tabungan itulah yang mereka gunakan merayakan kelulusan Hans sebagai PhD keliling Eropa daratan.

Sekali peristiwa, Fitri Armalivia, mahasiswa bimbingannya, mendaftar untuk mengikuti kuliah triwulan pendek di Universitas Durham. Perguruan tinggi itu memang punya program beasiswa mengundang mahasiswa dari berbagai negeri selama beberapa minggu untuk berkunjung dan belajar. Armalivia butuh rekomendasi. Orang yang tepat memberikan itu tentulah Hans.

Pendaftaran sudah dilakukan, tapi panggilan belum datang juga. Armalivia menduga Hans belum menulis rekomendasi. Waktu itu Hans disibukkan dengan memeriksa ujian. Suatu hari guru dan murid ini berpapasan. Armalivia seperti menghindar. Hans semula tidak mengerti, tapi akhirnya mafhum bahwa biang keladinya pastilah rekomendasi itu. Di rumah ia bercerita kepada istrinya, "Armalivia mungkin kecewa, tapi saya akan �kerjain� dia seolah-olah saya tidak menulis rekomendasi."

Keesokan harinya ia langsung menulis surat-e ke Durham. Namun, setelah itu Armalivia selalu duduk di belakang saban mengikuti kuliah-kuliahnya Hans. Untunglah, dalam tempo yang singkat sesudah Hans melayangkan rekomendasinya, Durham memberi tahu bahwa Armalivia diterima mengikuti program triwulan pendek itu.

"Keusilan Pak Hans itu paling-paling segitu," kisah Regina. Hubungan murid dan guru itu pulih kembali.

Dengan seorang dosen senior, Hans pernah konflik. Yang senior mendiamkannya setahun, entah karena apa. Tidak saling tegur sapa. Ketika ada tanda-tanda hubungan membaik, justru Hans yang balik mendiamkannya. "Setahun saya didiamkan, sekarang saya tambah setahun, saya yang mendiamkannya," kata Hans seperti dikisahkan Dr Freddy P Zen, rekannya di Kelompok Keahlian Fisika Teori.

SEBAGAI pegawai negeri, Hans memperlihatkan hubungan berbanding langsung antara gaji dan kehidupan. Pada sebagian besar pegawai negeri, hubungan gaji dan kehidupan adalah berbanding terbalik sebab dengan gaji kecil (gaji pokok pegawai dengan golongan tertinggi IV-E tidak lebih dari Rp 4 juta), banyak pegawai negeri punya rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, deposito dalam orde miliar rupiah. Hans selama hidupnya sebagai pegawai negeri tidak sempat memiliki rumah, tidak pernah memiliki mobil, bahkan sepeda motor. Setiap tahun ia harus memperbarui kontrak rumahnya, ke kampus naik angkot. Tak jarang ia pulang malam dari kampus jalan kaki setelah menempuh tujuh kilometer sebab angkot menuju rumahnya sudah tidak beroperasi lagi. Dalam hal ini, satu lagi predikat harus disematkan ke pundaknya: Pegawai Negeri Terbaik.

Kebaikan-kebaikannya inilah yang menumbuhkan pilu ketika menyaksikan bagaimana rumah sakit memperlakukan seorang fisikawan Indonesia yang luar biasa ini di akhir hidupnya.

Menurut penuturan istri dan keluarganya, karena kekurangan uang panjar, dua hari pertama Hans yang menderita leukemia itu tidak mendapatkan obat dari rumah sakit tempat ia terakhir dirawat. Begitu ada uang tambahan, barulah rumah sakit mulai memberikan obat. Beberapa jam setelah itu Hans mengembuskan napasnya yang terakhir.

Di kamar jenazah, tubuh Hans harus menunggu suntik formalin karena keluarga harus pontang-panting mengumpulkan uang sebanyak Rp 1 juta. Kartu kredit tidak berlaku di ruang jenazah itu. Dokter menunggu uang terkumpul. Untung ada Karlina Supelli yang bertanya ke dokter, "Saya punya beberapa dollar dan rupiah yang kalau dikumpulkan sekitar Rp 1 juta. Apakah ini dapat diterima?"

Sang dokter langsung memungut uang itu dan formalin seketika disuntikkan. (kompas)

1 komentar: