Senin, 07 September 2009

Belajar dari Fisikawan di Garis Kemiskinan


Memahami fisika itu tidak hanya di kepala, tapi sampai merasuk ke dalam jiwa” —Hans J. Wospakrik

Di pengujung Agustus 2003 media massa memperkenalkan seorang fisikawan Indonesia dengan reputasi mengagumkan: Hans Jacobus Wospakrik. Dia telah 20 kali menembus empat jurnal fisika tingkat dunia bagi publikasi hasil-hasil penelitian dalam Teori Relativitas Einstein, teori medan, dan fisika partikel.

Keempat jurnal itu adalah Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A. Di jurnal-jurnal inilah pekerjaan sebagian pemenang Nobel Fisika dimaklumkan. Keberhasilan ini menghendaki dua perjuangan yaitu mencapai mutu akademik yang tinggi dan memenuhi tuntutan finansial yang sungguh berat.

Sebagai fisikawan dengan reputasi internasional yang pada awal 1980-an pernah mengadakan riset bersama peraih hadiah Nobel Fisika 1999 Martinus J. G. Veltman di Utrecht (Belanda) dan di Ann Arbor, Michigan (AS), Hans tetaplah seorang dosen yang sederhana. Dia masih bersedia mengajar fisika dasar untuk mahasiswa tingkat satu, juga selalu menyediakan waktu membimbing mahasiswa, bahkan sampai larut malam, dengan risiko harus pulang berjalan kaki dari kampus Ganesha ITB ke rumahnya yang jauhnya enam kilometer.

Tak salah jika Terry Mart, pengajar dan staf riset di Departemen Fisika Universitas Indonesia, menggolongkan Hans sebagai peneliti militan yang hidup di garis kemiskinan.

Sedangkan L.T. Handoko, peneliti pada Puslitbang Fisika Terapan, LIPI, setelah melihat deretan publikasi Hans, menyebutkan penelitian semacam itu tak mungkin dihasilkan tanpa kesabaran dan ketekunan dalam tingkat paling ekstrem.

Sebagai fisikawan teori, modal utama riset-riset Hans adalah teks dan paradigma. Bukan laboratorium yang bernilai miliaran atau triliunan rupiah seperti akselerator partikel yang terdapat di Amerika Serikat, Jerman, dan perbatasan Swiss- Prancis itu. Hans mampu memperlihatkan bagaimana fisikawan dapat memahami fenomena ilmu fisika dengan sematamata mengandalkan perangkat lunak (matematika).

Sayang, dengan prestasi akademik yang luar biasa ini, pemerintah Indonesia tidak terpanggil memberi penghargaan yang pantas kepada fisikawan kelahiran Papua ini. Inilah yang membuat Profesor Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Jepang tak habis heran.

Ketika berkunjung di Bandung sekitar 17 tahun yang lalu, Sasaki mengatakan, “Kalau menggunakan kriteria di Jepang Hans mungkin satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang pantas mendapat gelar Profesor.”

Melalui buku Dari Atomos hingga Quark ini, kita bisa mengetahui karya Hans yang sangat mengagumkan. Fisika dan kimia yang oleh banyak orang ditangkap sebagai sesuatu yang sukar, di tangan Hans dapat dikemas dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan indah sehingga nikmat untuk dipahami, sekalipun oleh orang yang awam. Isi buku ini merupakan rangkuman berbagai buku rujukan dan artikel yang disajikan secara populer dengan menghindari uraian rinci teknis yang berkaitan dengan peranti ukur (instrumen) dan peranti nalarnya (matematika).

Menapaki rentetan kisah yang dijalin dari halaman yang satu ke halaman berikutnya secara kronologis dan mempesona, pembaca diajak mengagumi derap lintas waktu dan lintas batas negara para fisikawan dunia dalam kerjasama membangun lumbung pengetahuan untuk memecahkan teka-teki alam yang tiada habisnya.

Akhirnya, sosok Hans sebagai fisikawan di garis kemiskinan ini bisa dijadikan pelajaran bagi para ilmuwan agar tetap tangguh mempertahankan budaya akademik. Penelitian bukanlah kegiatan yang menjanjikan atau mendatangkan keuntungan ekonomik, melainkan upaya yang tiada mengenal lelah untuk mencapai kebenaran.

Dan, kata Daniel Coit Gilman, seorang pendidik, “kebenaran akan memerdekakan (veritas vos liberabit).”

# Mustain penggiat program diskusi dosen UIN Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar