Senin, 07 September 2009

PAPUA,KEGAGALAN TRANSFORMASI STRUKTURAL DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT

dan Irian Jaya Tengah. Jika kepentingan Jakarta terganggu di
Jayapura, Jakarta masih bisa memilih Manokwari atau Timika. Seperti halnya konsep
pembangunan terdahulu, kebijakan Jakarta ini pun "berseberangan" dengan arus bawah Papua
yang sudah dijalari otonomi khusus, maka terjadilah peristiwa Timika.
"Papua yang saya inginkan sebagai warga negara adalah Papua yang diperlakukan betul-betul
sebagai anak bangsa dalam arti punya hak yang sama dengan warga lain dan tidak dicurigai,"
ungkap Hans Jacobus Wospakrik, dosen Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung.
Gejolak itu terjadi karena Papua kurang diperlakukan sebagai anak bangsa. Seperti kejadian
terakhir, sepertinya dibuat agar berkelahi satu sama lain, antarorang Papua sendiri.
Menurut Hans, saat ini diperlukan suatu kebijakan dari pemerintah pusat supaya masalah yang
sudah disepakati bersama dengan otonomi sebagai jalan akhir itu dicobakan dulu. Setelah itu,
baru dilihat yang berikutnya. Otonomi itu merupakan sesuatu yang akhir untuk menyelesaikan
konflik sebelumnya.
Semua pihak harus menempatkan kesepakatan itu menjadi yang tertinggi, di mana seluruh
rakyat Indonesia memberi perhatian yang tertinggi untuk memberi otonomi khusus kepada
warga di Papua. Masalahnya, sesuatu yang sangat tinggi itu tidak dijalankan.
"Kami merasa ada ketimpangan perlakuan terhadap warga Papua. Ada banyak kecurigaan
negatif terhadap kami, kecurigaan bahwa kami menuntut perbaikan-perbaikan untuk kami.
Setiap kali menuntut perbaikan itu, kami dituduh separatisme. Padahal yang kami tuntut adalah
hak memperoleh pekerjaan dan hak apa saja yang sama. Namun, bila tuntutan itu berbenturan
dengan penguasa lokal, biasanya cara yang dipakai untuk mematikan tuntutan perbaikan itu
adalah cap separatis. Karena itu, gampang sekali penguasa menutup tuntutan itu. Biasanya
kalau sudah begini, larinya ke militer dan tuduhan itu pun seperti benar," ujarnya.
Kalaupun harus dimekarkan, Hans berpendapat, pemekaran itu jangan seperti ikan yang
dibelah begitu saja. Sebab, banyak suku di sana dan itu memerlukan pembicaraan yang cukup
lama: bagaimana membelahnya. Intisarinya adalah pemahaman lebih dalam tentang sosial
kultural. Dan itu hanya tercapai kalau semua wakil duduk bersama bagaimana pemekaran itu
tidak merugikan satu sama lain. Pemahaman sosial kultural tentang Papua ini dinilai masih
kurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar