Senin, 07 September 2009

Kebangkitan Nasional

SUMBER : Koran TempoMinggu, 18 Mei 2008

Kebangkitan Nasional Harus Dilakukan Setiap HariTak banyak yang mengenal nama ini: Hadi Susanto. Ia tak beredardi Tanah Air sejak awal milenium baru, hampir sepertiga dariumurnya yang baru 29 tahun. Apalagi untuk mendengar reputasinyasebagai salah seorang matematikawan muda yang sedang memahat namadi jajaran legenda pakar matematika dunia.Bahkan para pembaca novel superlaris Ayat-ayat Cinta karyaHabiburrahman El-Shirazy pun tak akan menduga bahwa Hadi Susantoyang menulis kata pengantar menarik di novel itu adalah Hadi yangdi umur 27 tahun meraih gelar doktor matematika dari UniversiteitTwente, Belanda, dan kini mengajar di Nottingham , Inggris.Lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur,Hadi mencecap pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN Kunir, dan SMAN2 Lumajang.

Saat di bangku SD, ia selalu terpilih sebagai wakilsekolah dalam lomba cerdas cermat di tingkat kabupaten. Anehnya,begitu bertanding nilainya hampir selalu nol. “Saya selalu grogimelihat anak dari sekolah lain yang selalu tampak keren danbergaya,” katanya.Kini dunia berbalik. Banyak yang “grogi” melihat prestasimahasiswa terbaik ITB tahun 2000 yang juga aktif berkiprah didunia sastra itu. “It is impossible to be a mathematician withoutbeing a poet in soul,” ungkapnya mengutip Sofia VasilyevnaKovalevskaya (1850-1891), matematikawan- cum-penyair Rusia perumusteorema Cauchy-Kovalevsky.Saat dikontak harian ini sebagai calon “Tamu”berkaitan dengan Hari Kebangkitan Nasional, pada awalnya Hadimenolak. “Saya membaca wawancara Koran Tempo dengan Pak AniesBaswedan (Rektor Universitas Paramadina– Red.) lewat kirimane-mail seorang teman. Saya tak sebanding dengan Pak Anies untukmenjadi ‘Tamu’,” katanya dengan suara lembut diujung saluran telepon internasional.Akhirnya, Kamis lalu, calon ayah yang sedang menunggu kelahirananak pertamanya pada Juli depan ini bersedia juga diwawancaraiwartawan Tempo Akmal Nasery Basral setelah berkorespondensi lewatsurat elektronik dalam beberapa kesempatan sebelumnya.Mengapa menurut matematikawan muda yang 26 karya ilmiahnya sudahmuncul di sejumlah jurnal internasional itu kebangkitan nasionaltak akan terjadi jika hanya muncul dari perayaan yang timbulsetahun sekali?

Petikannya:Anda menyelesaikan kuliah dalam tiga tahun dan terpilih sebagaiMahasiswa Terbaik ITB tahun 2000. Bagaimana ceritanya?

Sebetulnya masa kuliah saya hampir empat tahun. Yang kuliah sajamemang tiga tahun, tapi memasuki tahun keempat saya mendapatkesempatan mengunjungi Belanda selama delapan bulan untukmengerjakan TA (tugas akhir–Red.) di Universiteit Twente (UT).Begitu diwisuda, saya diumumkan terpilih sebagai penerima GaneshaPrize, Mahasiswa Berprestasi Utama ITB, dengan hadiah mengunjungiBelanda lagi selama tiga bulan. Oleh UT saya ditawari melanjutkankuliah di sana . Maka mulai Agustus 2001 saya mengambil programkombinasi MSc/PhD untuk periode empat tahun.Tapi, selesai PhD Anda tidak kembali ke Indonesia .

Mengapa?Selesai dari Twente saya melanjutkan studi postdoctoral diMassachusetts , Amerika Serikat. Saya mendapat visiting assistantprofessorship selama tiga tahun di University of Massachusetts(UMass), Amherst. Kewajiban saya mengajar dua kelas per semesterselain tugas melakukan riset. Menjelang selesai di UMass, sayakirimkan sejumlah aplikasi ke universitas di Amerika Serikat danEropa. Akhirnya, sejak Januari 2008 saya menjadi dosen diUniversity of Nottingham , Inggris. Mengapa saya tidak segerakembali ke Indonesia , karena saya ingin memperdalam dulu bidangini. Apalagi sekarang istri saya sudah di sini. Juli mendatang,insya Allah, anak pertama kami lahir.Anda terlihat begitu mudah meniti karier. Berpindah-pindah dariBelanda, Amerika Serikat, Inggris, sebagai doktor matematika,padahal usia Anda belum lagi 30 tahun.

Apakah semua ini memangsemudah yang terlihat?Tidak. Dua tahun pertama saya kuliah di ITB, kondisi saya sulitsekali. Saya tak bisa hidup hanya dari beasiswa, harus kerjajuga. Uang kerja dan beasiswa yang saya dapatkan dibagi tiga:untuk kebutuhan saya di Bandung , keperluan orang tua di Lumajang,dan biaya kuliah adik. Tiap Sabtu-Minggu saya keliling hotel dangedung resepsi di Bandung bermodal pakaian rapi. Tanpa tahu siapayang punya hajat, saya masuk saja ke pesta orang-orang kaya, yangpenting bisa makan. Pernah juga setelah libur Lebaran, ketikakembali ke Bandung saya tak punya cukup uang untuk membeli karciskereta ekonomi. Akhirnya, saya naik kereta barang, duduk dilantai gerbong bersama sekitar 100-an orang. Perjalanan sekitar12 jam itu berlangsung malam hari dan tanpa lampu di gerbongsaya. Gelap sekali. Mungkin kalau dituliskan bisa jadi LaskarPelangi (judul novel karya Andrea Hirata–Red. ) versi orang Jawa(tertawa kecil). Itu beberapa contoh besar. Kalau penderitaanlainnya banyak sekali.

Bagaimana Anda melewati masa-masa sulit itu untuk bersinar diITB?Berkat dukungan dan doa banyak orang. Ketika dosen kuliah agamaIslam saya, Ustad Asep Zaenal Ausof, akan berangkat umrah, sayadatangi dia dan minta didoakan khusus. Saat itu kehidupan sayasedang di bawah sekali. Usaha orang tua saya yang berjualan kaindan baju di pasar bangkrut total. Kami terjebak rentenir sehinggaharus jual sawah, dan akhirnya satu-satunya rumah yang kami punyapersis menjelang saya lulus SMA. Begitu lulus SMA, saya sudahmemutuskan untuk tidak kuliah, tapi keluarga saya, terutama ibu,tidak setuju. Saya harus terus kuliah. Alhamdulillah, saya lulusUMPTN dan diterima di ITB, tapi untuk membayar uang masuk yangbeberapa ratus ribu saja kami tak mampu. Akhirnya, saya putuskanlagi untuk tidak mendaftar. Tapi ibu saya berjuang terus sampaidetik terakhir. Akhirnya ketika saya bisa berangkat ke Bandung ,dalam hati saya cuma ada satu tekad untuk berhasil danmembahagiakan keluarga.Apa yang menyebabkan

Anda begitu tertarik untuk mendalamimatematika?Sejak SD saya suka mengamati bagaimana angka-angka bisa dimainkandengan operasi-operasi yang saling berhubungan. Di SMP saya mulaimenyadari bahwa dasar dari fenomena alam di sekitar kita bisadirumuskan melalui matematika. Ketika sesuatu sudah dituliskan kedalam persamaan dan rumus, sesuatu itu menjadi berada di tangankita yang bisa kita main-mainkan. Tapi pencerahan saya yangsebenarnya terjadi di ITB ketika mengikuti ceramah agama yangdisampaikan dosen astronomi Pak Mudji Raharto. Beliau salahseorang astronom yang sampai saat ini selalu menjadi rujukandalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan. Ada satu bagiandari ceramahnya yang membuat saya terpana, bahwa alam semesta inijuga bisa dirumuskan dalam formulasi matematika. Saat itu sayaberkata dalam hati, “Tuhan pasti ahli matematika!” Sejak itu pulasaya melihat dunia ini seperti tersusun dari angka-angka. Mungkinseperti film The Matrix.

Tetapi mengapa bagi sebagian besar siswa Indonesia , matematikajauh dari pengalaman yang menyenangkan seperti yang Anda alami?Matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mayoritas siswaIndonesia karena pesan dari matematika itu sering tidak sampai.Jika kita belajar matematika sebagai sebuah hafalan, makamatematika menjadi tidak seksi lagi. Mempelajarinya menjadisesuatu yang memberatkan. Tapi jika kita tahu bahwa yangdipelajari itu adalah, dan tidak lebih dari,”perumuman” dari masalah sehari-hari yang sudahkita kenal, maka matematika akan menjadi sangat menyenangkan. DiIndonesia ada beberapa matematikawan yang menguasai betulbagaimana membuat matematika menjadi menarik, misalnya almarhumProfesor Andi Hakim Nasution yang dulu rutin mengisi kolom diharian Republika dan almarhum Profesor Ahmad Arifin dari ITB.Anda dikenal juga punya minat yang besar dalam sastra, misalnyadengan menulis kata pengantar novel Ayat-ayat Cinta karyaHabiburrahman El-Shirazy yang kini merupakan film terlaris diTanah Air dari jumlah penonton. Puisi-puisi Anda muncul di banyakantologi bersama.

Bagaimana relasi antara matematika dan sastraini berkelindan dalam kehidupan Anda?Sebetulnya saya kenal Ustad Abik (nama panggilan HabiburrahmanEl-Shirazy– Red.) lewat internet. Saya waktu itu di Belanda,beliau di Mesir. Kami bertemu di pesantrenvirtual. com. Dari situsering berdiskusi sastra. Menurut saya hubungan matematika dengansastra sangat dekat. Untuk bisa menikmati keindahan matematikatidak hanya diperlukan logika, tapi juga perasaan, seperti halnyaseni. Einstein mengatakan, “Pure mathematics is, in its way, thepoetry of logical ideas.”Jadi seorang matematikawan pada dasarnya seorang penyair?Kurang lebih. Dan itu bukan cuma pendapat Einstein. SofiaKovalevskaya, wanita pertama yang mendapat pendidikan formal PhDdi Eropa yang terkenal dengan teorema Cauchy-Kovalevsky, jugaseorang penyair. Dia bilang, “It is impossible to be amathematician without being a poet in soul.” Karl Weierstrass,peletak dasar analisis matematika modern yang juga mentor Sofia ,membenarkan ungkapan muridnya dan menambahkan, “It is true that amathematician who is not also something of a poet will never be aperfect mathematician. ” Kalau kita percaya dengan ucapanWeierstrass ini, maka saya paling tidak penggemar sastra, karenabelum bisa disebut sastrawan (tertawa).Contoh-contoh yang Anda sebut itu dalam konteks apresiasi, bukan?

Bagaimana dalam konteks kreasi atau penciptaan karya sastra?Saya kira contohnya juga banyak. Bahkan Hadiah Nobel di bidangsastra pun ada matematikawan yang memenangkannya. Pada 1904,Hadiah Nobel untuk sastra diberikan kepada dramawan danmatematikawan Spanyol José Echegaray. Pada 1950, Nobel Sastrajuga diberikan kepada seorang matematikawan, Bertrand Russell.Dua orang ini disebut matematikawan karena mereka memang profesormatematika. Saya mendengar rumor bahwa pada 1999 seorangmatematikawan, associate professor di University of New Mexico ,Gallup , juga sempat dinominasikan sebagai kandidat penerimaHadiah Nobel sastra.Apakah relasi yang akrab antara matematika dan sastra itu jugaterlihat di dunia Islam?Ada , misalnya Omar Khayyam yang terkenal dengan Rubaiyyat-nyaitu. Selain sebagai penyair, Omar Khayyam juga terkenal sebagaiahli matematika geometri yang mengoreksi postulat Euklid. Dansaya kira tema-tema seperti ini harus sering diperbincangkan.

Mengapa?Saya lihat dunia anak muda di Indonesia terlalu banyak dijejalidengan tayangan infotainment, seakan-akan menjadi artis adalahsatu-satunya jalan yang harus ditempuh agar bisa sukses danterkenal. Ditambah dengan program-program pencari bakat yangmenawarkan ketenaran instan yang tanpa disadari sering kalimenipu. Padahal dunia sains juga menawarkan gaya selebritasnyasendiri, misalnya setelah buku Sylvia Nasar A Beautiful Mindterbit, publik jadi mengidolakan matematikawan John Nash Jr. (ABeautiful Mind sudah difilmkan dengan judul sama, dibintangi olehaktor Russell Crowe sebagai John Nash Jr.–Red.) Bahan-bahanseperti ini cukup banyak. Saya sendiri terinspirasi untuk menulispolemik antara Sylvia Nasar dan Prof. Shing-Tung Yau, salahseorang jenius matematika saat ini yang juga aktif menulispuisi-puisi Cina. Konflik mereka sangat menarik di duniamatematika, tak kalah hebohnya dengan kisruh Maia-Dhani ditelevisi Indonesia (tertawa).

Seperti apa sih kalau selebritas matematika berseteru?Konflik mereka dimulai ketika Nasar menulis artikel di The NewYorker yang menuduh Shing-Tung Yau hendak mencuri kredit atasusaha Grigori Perelman yang berhasil memecahkan satu dariMillennium Prize Problems, yang untuk satu solusi darimasing-masing problem berhadiah satu juta dolar. Dari sini ceritayang menggemparkan dunia permatematikaan internasional inibergulir. Kisah ini, menurut saya, menarik untuk dibaca anak-anakmuda di Indonesia , selain buku-buku matematika populer yangditulis oleh mendiang Prof. Hans Wospakrik. Intinya agar generasimuda kita tahu bahwa pengertian idola dan selebritas itu bukanhanya dari kalangan artis.

Jadi, Anda mengharapkan ada semacam kebangkitan nasional, darigenerasi muda khususnya, dalam memaknai masa depan?Ketika kuliah di Bandung , saya melihat kebangkitan nasional ituhanya motto belaka bagi kawan-kawan yang berasal dari kalanganberada. Dan tidak mungkin perubahan besar yang diharapkan darikebangkitan nasional itu akan muncul jika hanya dihasilkan olehkesadaran yang muncul setahun sekali. Menurut saya, kebangkitannasional harus dilakukan setiap hari, yaitu bangkit untuk bisabermanfaat bagi orang banyak, minimal orang-orang yang bisa sayajangkau dengan kedua tangan saya, dengan membuat merekabermanfaat pula bagi orang-orang di sekitar mereka. Dengan salingmenularkan kebangkitan seperti ini, saya kira, arti kebangkitannasional itu baru menemukan maknanya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia matematika di Indonesiasekarang?Profesor Achmad Arifin pernah bilang, “Matematikawan, khususnyaaljabar, Indonesia masih berada pada taraf memahami pekerjaanorang lain, belum pada tahap mengembangkan. ” Saya kira pendapatini benar. Lihatlah bagaimana guru besar yang seharusnya menjadiujung tombak dan tolok ukur kualitas penelitian justru seringkali minim kontribusinya di jurnal-jurnal internasional. Namun,sebagai orang yang sejak lulus S1 sampai saat ini belum pernahtinggal di Indonesia , saya merasa tidak punya hak lebih untukmemberikan saran. Mesti begitu, saya tahu pasti ada banyak dosendan periset di Indonesia yang terus memegang idealismenya. Merekaorang-orang yang sangat militan di tengah segala keterbatasandalam melakukan penelitian. Pemerintah dan media massa harusmembantu mereka.Ada kisah-kisah yang lucu sebagai dosen matematika di luarnegeri?Aksen bahasa Inggris di Nottingham ini kan berbeda dengan diMassachusetts , jadi saya harus beradaptasi lagi ketika mengajar.Nah, kadang-kadang begitu ada mahasiswa saya yang bertanya, sayamasih belum menangkap inti pertanyaannya, jadi saya bilang, “Cobaulangi lagi?” Eh, mereka bilang nggak jadi. Mungkin mereka pikirdosennya ini ngetes apakah mereka yakin dengan pertanyaan sendiriatau tidak (tertawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar